Count visitor

Sabtu, 21 April 2012

Terbang Tinggi oleh Silvia Ningsih


Perjalanan ini terasa sangat membuat jantungku dag di dug. Rasa cemas dan rasa takut bercampur jadi satu tetapi tidak melebihi rasa bahagia ku. Kali pertama aku terbang di atas awan, bercengkrama dengan langit seolah-olah aku menari-nari bersamanya. Kendaraan yang belum pernah aku naiki, setelah aku berumur 21 tahun, aku merasakan bagaimana rasanya terbang ke awan seperti yang pernah aku impikan selama aku berumur 21 tahun.
Penyakit yang aku derita membuat keluarga prihatin dengan keadaanku apalagi amak dan apak, begitu aku memanggil orang yang berjasa dalam hidupku ini. Tangisan amak dan kekwatiran apaklah yang membuat aku bertahan hidup hingga aku berumur 21 tahun. Aku adalah anak gadis yang memilki rambut lurus dan panjang, tubuh tinggi dan kulit putih seperti banyak idaman laki-laki. Tetapi jika laki-laki tahu aku adalah perempuan yang paling tidak bisa menjadi perempuan yang sempurna. Kegundahan hati ini selalu dihibur oleh wanita yang menjadi motivasi ku, amak ku, walaupun aku memiliki penyakit pada kewanitaan ku tetapi amak selalu merawatku dengan kasih sayangnya. Mereka tahu aku sakit untuk memikirkan ke masa depan, sedangkan untuk buang air saja aku selalu merintih kesakitan. Kanker serviks yang aku derita membuat hati tubuh cantik ini sakit.
Amak dan apak tahu, aku ingin sekali naik pesawat terbang. Tetapi semenjak sakitku bertambah parah membuat pendidikanku hanya sampai tingkat SMA. Padahal amak dan apak ingin sekali melihat aku sarjana seperti anak tetanggaku. Tetapi amak dan apak menahan rasanya, demi aku, demi keadaanku. Aku anak yang pintar, itu semua tak terlepas dari didikan amak dan apak.
Tetapi tanpa aku sadari, amak dan apak mengetahui keinginan ku untuk naik pesawat terbang, sehingga mereka mengumpulkan uang untuk ku, untuk anaknya yang berpenyakitan. Semua berawal dari tulisanku
Amak, apak, maafkan Mila. Mila anak petani yang berpenyakitan yang berkeinginan terbang ke awan. Mila sadar pak, kita hidup tidak seperti orang lain. Amak, Mila tahu mak, Mila tidak akan mampu meraih keinginan Mila yang berlebihan, Mila tahu itu mak.
Sekarang melalui kertas putih ini Mila menguburkan keinginan Mila. Oo iya mak, karena amak Mila bertahan hidup, karena apak, Mila kuat dan bisa tersenyum. Amak dan apak, Mila sayang amak, Mila sayang apak. Maafkan Mila yang selalu menyusahkan kalian.
Amak dan apak membaca tulisanku dalam lipatan kainku. Itulah sebabnya amak dan apak berusaha menyimpan uang dalam bambu yang menjadi tiang penyangga dapur kami. Hari senin, tepat aku berumur 21 tahun, apak mendapat panggilan ke kantor kepala desa bahwa aku mendapatkan pengobatan di negeri tetangga dengan syarat ongkos tidak ditanggung. Apak membawa kabar ini pulang dengan hati yang gembira tetapi tidak denganku. Aku tidak yakin bahwa amak dan apak akan punya uang. Tetapi amak dan apak begitu senang hingga mereka mengajakku untuk ke dapur. Aku heran, kenapa amak dan apak mengajakku ke dapur. Hingga apak mengambil parang dan mencongkel bagian bamboo yang menjadi penyangga dapur kami. Hingga keluar uang yang digulung-gulung yang kebanyakan uang yang memajang pahlawan kapitan Pattimura. Setelah dihitung amak dan apak dengan semangatnya, ternyata uang itu hanya kurang sedikit untuk membeli tiket pesawat ku, dan kurangnya ditambah oleh saudara-saudara apak. Pada saat itu aku tak bisa menahan air mata, begitu besar kasih sayang amak dan apak padaku. Aku peluk tubuh kurus apak, kucium kaki amak. Aku menangis sejadi-jadinya. Menangis bahagia karena akan berobat, menangis gembira karena akan terbang ke awan, dan menangis penuh cinta karena apak dan amak, sosok pahlawan dalam hidupku.
Hati-hati nak, jangan lupa berdo’a, jangan lupa sholat pesan apak menjelang aku akan terbang ke awan. Sedangkan amak tak mampu berucap apa-apa, hanya memeluk tubuhku. Hingga dengan nada serak amak berkata juga selamat nak, engkau akan terbang ke awan. Amak dan apak senang. Semoga kau bisa bahagia, doa amak mengiringi langkahmu.
Aku seperti mimpi, bisa merasakan mimpi yang selalu aku impi-impikan. Aku telah terbang ke awan. Setelah aku mendapatkan perobatan ke negeri tetangga aku sehat, tetapi tuhan berkata lain, tuhan mengambil nyawaku, memisahkan aku dengan amak dan apak setelah aku bahagia bisa merasakan terbang ke awan. Sekarang mereka berdua meratap memandang tubuhku dalam balutan kain panjang.
 Sehingga amak menuliskan ucapan dibalik kertas tulisanku dulu.
Mila, anakku. Kau tidak akan menemuiku lagi, kau tidak akan menemui apak kau lagi. Kau betul-betul telah terbang seperti apa yang kau inginkan. Amak merasakan bahagianya kau diatas pesawat nak. Tetapi kenapa bahagiamu hanya sekejap. Amak belum bisa membuatmu seperti anak-anak lain. Maafkan amak Mila. Amak sayang kamu. Semoga kau diterima disisinya nak dan kau juga yang akan membawa amak dan apak ke sorga yang maha kuasa nanti.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar