Count visitor

Minggu, 15 April 2012

Kritik Berujung Peluru

 
Di sebuah apartemen sore itu tampak hening. Tepat di depan lift perempuan jurnalis berusia 48 tahun itu ditembak. Tak ada saksi mata saat pembunuhan itu berlangsung. Tiga lubang peluru menganga di dada dan kepalanya. Pistol Makarov berkaliber 9 milimeter dikatakan sebagai “tanda tangan” sang pembunuh,. Dugaan kuat, Anna ditembak karena ada pihak yang tak senang dengan liputan investigasinya terhadap Kremlin dan pemimpin Chechen Ramzan Kadyrov. Kejadian itu tepat pada 7 Oktober 2006 . Putri seorang diplomat itu tewas setelah empat timah panas dari sepucuk pistol menerabas tubuhnya. Anna Politkovskaya yang lahir di New York, AS pada 1958 itu adalah seorang jurnalis yang bergabung dengan Novaya Gazeta sebelumnya. Dia menulis tentang pembunuhan massal, penculikan, hingga serdadu Rusia yang menjual tulang belulang para gerilyawan Chechnya kepada keluarganya untuk dimakamkan secara islam. Tulisan-tulisan itulah yang mengantarkannya sebagai kritikus tervokal yang pada akhirnya menyebabkan banyaknya datang ancaman kepada Anna. 
Pada tahun 2000, Anna sempat ditahan dan dipukuli, serta menjadi subjek eksekusi pura-pura oleh militer. Pada tahun 2001, ia sempat kabur ke Wina Austia, setelah menerima ancaman pembunuhan lewat email dari seseorang yang mengaku perwira polisi yang ingin balas dendam karena tulisannya tentang pembunuhan warga sipil. Anna merupakan jurnalis yang pemberani dengan mempertaruhkan nyawanya ketika menyingkap praktek bisnis kotor rezim Putin sehingga menyebabkan kerugian Negara yang sangat besar.
Saya memilih berita ini sebagai suatu pilihan dari segelintir kasus popular yang berkaitan dengan pers di dunia dengan alasan karena kasus ini memang sangat diperhatikan dunia. Sampai saat ini masih ada kesembunyian dibalik kasus pembunuhan Anna Politkovskaya ini. Kasus paling terkenal ini terjadi pada 2006 lalu, saat Anna Politkovskaya dibunuh karena dianggap terlalu frontal mengkritik pemerintah. Banyak kenyataan yang dapat saya ambil dari kasus ini, Pertama, kasus politik masih menempati urutan teratas penyebab kematian jurnalis.
Politik dan berkaitan dengan korupsi makin menegaskan bahwa wilayah itu amat berbahaya buat jurnalis. Kedua, jurnalis mesti mambangun “relasi politik” dengan kekuatan politik lokal dan nasional. Ketiga, media mesti memberikan jaminan sepenuhnya. Media yang baik bertanggung jawab penuh terhadap keselamatan jurnalisnya.Sebagai seorang calon jurnalis, saya ingin lebih mendekatkan pengetahuan terhadap kasus ini, dan dapat mengambil pelajaran dari kasus ini agar dapat dijadikan acuan ke depannya.
Pada kasus ini, terdapat organisasi yang turut andil dalam menanganinya  dengan dihubungkan juga karena sebelumnya Anna sempat meraih penghargaan sebagai Reporter Without Borders, oleh Organisasi Pendukung Kebebasan pers, Reporters Without Borders (RSF). Itulah lembaga yang turut angkat bicara mengenai kebebasan pers. Mereka menyebutnya "Predators of Press Freedom”. Sikap kritis ini sebagai langkah RSF untuk memperingati Hari Kebebasan Pers Dunia yang dirayakan setiap 3 Mei. Tidak hanya itu, regulasi dari kasus ini juga di sertai oleh kantor berita tempat Anna Politkovskaya ini bekerja yaitu Novaya Gazeta yang telah membantu mengungkap kasus ini. Selain RSF dan Novaya gazeta, sebagai  Presiden Rusia saat itu dan kini Perdana Menteri Rusia,  Putin berjanji akan menghukum pembunuh Politkovskaya.
Sulit untuk memberi solusi dalam hal ini, karena pers/wartawan yang menjalankan profesinya sudah sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 pun masih menjadi delematis. Kesungguh-sungguhun pun bisa menjadi ancaman besar bagi si wartawan dan keluarganya, bagaimana kalau isi pemberitaan benar-benar di luar dari muatan Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers.
            Ternyata, media-media yang bernilai pengaruh terhadap publik kerap menjadi sorotan. Dan ini juga sebagai antisipasi pers bila kesungguhan media didalam menjalankan profesinya tak memiliki strategi ampuh untuk mengantisipasi terjadinya kasus-kasus yang sudah dialami para wartawan saat menjadi korban kekerasan.    
Maka dari itu, posisi pers saat ini harus memiliki kekuatan hukum yang berfungsi sebagai pelindung sekaligus pegangan pers untuk menjalankan profesinya. Kekuatan hukum itu dilandasi atas keleluasaan pers didalam pemenuhan hak-hak untuk memiliki kebebasan berpendapat, jaminan keselamatan selama menjalankan profesi dan sesudah menjalankan profesi, kesejahteraan, hingga keleluasaan menembus berita dan narasumber, namun tetap lebih mengedepankan etika.
Ditambah lagi, banyak kalangan pers yang menyatakan, UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 dinilai belum merasa melindungi keberadaan pers itu sendiri. Hal itu dibuktikan, keberadaan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 dirasa belum melindungi profesi dan tugas seorang jurnalis dalam mencari informasi akibat kekerasan terhadap pers/wartawan tetap terjadi. Belum lagi, hukum pers muncul disesuaikan dengan kondisi sosial politik ekonomi sebuah negara.

Ria Andriani
Ilmu Komunikasi 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar