![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjqVybqR_SK8t9FvWgLFLDeS9wP3y3yKukvDnl9PufHWQZ7Lba1OuMogcl521OD5HyqPM1PJp4ZtYUAk9FtGi4GLtG3b4gfVZqqaxzvOgn4qOUAHjlS6KzlTy6b9YQEE3wwhFqSlXgdl7A/s200/anna.jpeg)
Di sebuah apartemen sore itu tampak hening. Tepat di depan lift perempuan jurnalis berusia 48 tahun itu ditembak. Tak ada saksi mata saat pembunuhan itu berlangsung. Tiga lubang peluru menganga di dada dan kepalanya. Pistol Makarov berkaliber 9 milimeter dikatakan sebagai “tanda tangan” sang pembunuh,. Dugaan kuat, Anna ditembak karena ada pihak yang tak senang dengan liputan investigasinya terhadap Kremlin dan pemimpin Chechen Ramzan Kadyrov. Kejadian itu tepat pada 7 Oktober 2006 . Putri seorang diplomat itu tewas setelah empat timah panas dari sepucuk pistol menerabas tubuhnya. Anna Politkovskaya yang lahir di New York, AS pada 1958 itu adalah seorang jurnalis yang bergabung dengan Novaya Gazeta sebelumnya. Dia menulis tentang pembunuhan massal, penculikan, hingga serdadu Rusia yang menjual tulang belulang para gerilyawan Chechnya kepada keluarganya untuk dimakamkan secara islam. Tulisan-tulisan itulah yang mengantarkannya sebagai kritikus tervokal yang pada akhirnya menyebabkan banyaknya datang ancaman kepada Anna.
Pada tahun 2000, Anna sempat ditahan
dan dipukuli, serta menjadi subjek eksekusi pura-pura oleh militer. Pada tahun
2001, ia sempat kabur ke Wina Austia, setelah menerima ancaman pembunuhan lewat
email dari seseorang yang mengaku perwira polisi yang ingin balas dendam karena
tulisannya tentang pembunuhan warga sipil. Anna merupakan jurnalis yang
pemberani dengan mempertaruhkan nyawanya ketika menyingkap praktek bisnis kotor
rezim Putin sehingga menyebabkan kerugian Negara yang sangat besar.
Saya memilih berita
ini sebagai suatu pilihan dari segelintir kasus popular yang berkaitan dengan
pers di dunia dengan alasan karena
kasus ini memang sangat diperhatikan dunia. Sampai saat ini masih ada
kesembunyian dibalik kasus pembunuhan Anna Politkovskaya ini. Kasus
paling terkenal ini terjadi pada 2006 lalu, saat Anna Politkovskaya dibunuh
karena dianggap terlalu frontal mengkritik pemerintah. Banyak kenyataan yang
dapat saya ambil dari kasus ini, Pertama,
kasus politik masih
menempati urutan teratas penyebab kematian jurnalis.
Politik dan berkaitan
dengan korupsi makin menegaskan bahwa wilayah itu amat berbahaya buat jurnalis.
Kedua, jurnalis mesti mambangun
“relasi politik” dengan kekuatan politik lokal dan nasional. Ketiga, media mesti memberikan jaminan
sepenuhnya. Media yang baik bertanggung jawab penuh terhadap keselamatan
jurnalisnya.Sebagai seorang calon jurnalis, saya
ingin lebih mendekatkan pengetahuan terhadap kasus ini, dan dapat mengambil
pelajaran dari kasus ini agar dapat dijadikan acuan ke depannya.
Pada kasus
ini, terdapat organisasi yang turut
andil dalam menanganinya dengan
dihubungkan juga karena sebelumnya Anna sempat meraih penghargaan sebagai
Reporter Without Borders, oleh Organisasi Pendukung Kebebasan pers, Reporters
Without Borders (RSF). Itulah lembaga yang turut angkat bicara mengenai
kebebasan pers. Mereka menyebutnya "Predators of Press Freedom”.
Sikap kritis ini sebagai langkah RSF untuk memperingati Hari Kebebasan Pers
Dunia yang dirayakan setiap 3 Mei. Tidak hanya itu, regulasi dari kasus ini
juga di sertai oleh kantor berita tempat Anna Politkovskaya ini bekerja yaitu Novaya
Gazeta yang telah membantu mengungkap kasus ini. Selain RSF dan Novaya gazeta,
sebagai Presiden Rusia saat itu dan kini
Perdana Menteri Rusia, Putin berjanji
akan menghukum pembunuh Politkovskaya.
Sulit untuk
memberi solusi dalam hal ini, karena
pers/wartawan yang menjalankan profesinya sudah sesuai dengan Kode Etik
Jurnalistik dan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 pun masih menjadi delematis. Kesungguh-sungguhun
pun bisa menjadi ancaman besar bagi si wartawan dan keluarganya, bagaimana
kalau isi pemberitaan benar-benar di luar dari muatan Kode Etik Jurnalistik dan
UU Pers.
Ternyata, media-media yang bernilai pengaruh terhadap
publik kerap menjadi sorotan. Dan ini juga sebagai antisipasi pers bila
kesungguhan media didalam menjalankan profesinya tak memiliki strategi ampuh
untuk mengantisipasi terjadinya kasus-kasus yang sudah dialami para wartawan
saat menjadi korban kekerasan.
Maka dari itu, posisi pers saat ini
harus memiliki kekuatan hukum yang berfungsi sebagai pelindung sekaligus
pegangan pers untuk menjalankan profesinya. Kekuatan hukum itu dilandasi atas
keleluasaan pers didalam pemenuhan hak-hak untuk memiliki kebebasan
berpendapat, jaminan keselamatan selama menjalankan profesi dan sesudah
menjalankan profesi, kesejahteraan, hingga keleluasaan menembus berita dan
narasumber, namun tetap lebih mengedepankan etika.
Ditambah lagi, banyak kalangan pers
yang menyatakan, UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 dinilai belum merasa melindungi
keberadaan pers itu sendiri. Hal itu dibuktikan, keberadaan UU Pers Nomor 40
Tahun 1999 dirasa belum melindungi profesi dan tugas seorang jurnalis dalam
mencari informasi akibat kekerasan terhadap pers/wartawan tetap terjadi. Belum
lagi, hukum pers muncul disesuaikan dengan kondisi sosial politik ekonomi
sebuah negara.
Ria Andriani
Ilmu Komunikasi
Ria Andriani
Ilmu Komunikasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar