Count visitor

Jumat, 20 April 2012

Semuanya Karena Aku Cacat Oleh Asra Syahrul




Sore ini tak seperti biasanya. Awan-awan bergumpalan seperti mau jatuh dari langit. Gemuruh sahut-sahutan dari ujung ke ujung. Air mulai jatuh satu-satu. Kambing-kambing berlarian. Induk ayam memanggil-manggil anaknya. Orang-orang berlari untuk mengejar jemuran pakainnya. Tetapi tidak dengan aku. Aku selalu duduk di kursi ini. Sebuah kursi yang selalu setia kepadaku. Dari kursi ini aku dapat melihat apa yang dikerjakan oleh orang lain.
Bagiku kursi sudah menjadi seorang teman, dengan kursi aku berdiskusi dan menceritakan apa yang aku rasakan. Ia menjadi pendengar setiaku.
Aku ingin seperti orang-orang yang pernah merasakan hujan dan panasnya terik matahari. Aku hanya mampu merasakan dingin dan panas di dalam ruangan. Kadang kalau terlalu panas ibuku akan menghidupkan kipas angin yang ada di depan kursiku.
Mihar.. tutuplah jendelamu,!! hujan lebat sekali ditambah pula dengan angin kencang. kata ibu dari dapur.
Iya Bu.. kataku sambil menutup jendela.

Ibu datang untuk menopangku ke tempat tidur. Ini adalah pekerjaan rutin yang dilakukan ibu untuk menolongku. Aku heran kenapa hanya ibu yang mau. Ayah dan uni-uniku jarang sekali melakukan ini. Di antara saudara-saudaraku hanya Abang Indra yang merasa kasihan kepadaku.
Kamu di sini saja ya Nak.. kata ibu sambil mendudukkan ku.
Ibu mau kemana? Tanyaku
Ibu mau mencari kambing kita, kambing belum pulang semuanya Mih…
Oh… tapi hujan masih lebat Bu, nanti sajalah kalau sudah reda. Kataku melarang ibu pergi.
Memang hari hujan Mih, tetapi bagaimana dengan kambing? Ia akan mati kehujanan. Ibu berkata sambil mengambil payung yang digantungkan di belakang pintu.
Ibu mengembang payungnya dan pergi meninggalkan ku.

Aku ingin melihat kemana ibu akan pergi. Tetapi kaki ini, kaki ini tak pernah mau dilangkahkan. Kakiku yang mengekangku. Aku tidak sebebas orang lain. Aku ingin menolong ibuku, aku tak ingin ibuku celaka.
Sudah satu jam ibu pergi belum juga kembali. Hatiku tidak tenang, aku ingin mencari ibuku. Tetapi aku tidak bisa. Aku teringat dengan Bang Indra yang tadi tidur dalam kamarnya.
Bang… Bangun Bang. Aku memanggil Abangku yang tidur semenjak hujan turun tadi.
Tapi Abang tidak mendengarku. Akhirnya aku berinsut-rinsut di atas lantai dengan susah payah sampai keringatku keluar di hari yang dingin ini menuju kamar Abang.
Bang… bangun Bang. Kataku sambil menggoyang-goyang badannya.
Iya… Jawab Abang sambil menggosok-gosok matanya.
Ada apa Mih? Kenapa membangunkan Abang?
Bang, Ibu belum pulang. Ia pergi satu jam yang lalu mencari kambing. Kataku sambil merengek dan terus menggoyang tubuh Abang.
Kamu lihat ke arah mana ibu pergi? Tanya Abang dengan panasaran.
Tidak Bang, tadi ibu mengantarkanku ke temapt tidur dan ia langsung pergi.
Ya sudah. Kau disini saja ya… jangan keluar-keluar! Biar abang yang mencari Ibu. Kata Abang meyakinkanku.
Iya Bang… hati-hati!

Abang tak menghiraukan pesanku, ia langsung mengambil payung yang ada di belakang pintu. Di rumahku memang punya payung satu per orang kecuali aku. Aku tidak dibelikan karena aku tidak mebutuhkannya. Aku tidak sesibuk ayah, ibu dan saudara-saudaraku. Aku selalu di rumah dan duduk di dekat jendela. Aku tak merasakan panas yang sebenarnya, aku hanya merasakan cahaya matahari yang masuk lewat jendela dekat aku duduk. Begitu juga dengan hujan.
Aku mulai kwatir, sudah empat puluh lima menit Abang pergi belum juga kembali. Tetapi aku sudah mendengar ada suara di belakang rumah. Mungkin itu ibu, kataku dalam hati.
Ibu… ibu sudah kembali? Lama sekali ibu menjawabnya sampai aku melihat pintu terbuka dan ibu menginjakkan kakinya di atas kesset sambil berkata “Sudah…tapi perasaan ibu tidak enak. Ibu tampak ada sesuatu yang dipikirkannya.
Memangnya ada apa Bu? Tanyaku penasaran melihat kekwatiran ibu.
Tadi ketika ibu lewat pohon yang di ujung kebun Pak Umar, ibu melihat pohon itu sangat bergoyang sekali, karena takut ibu berlari-kencang-kencang. Belum jauh dari tempat itu pohonnya tumbang Mih.
Alhamdulillah ibu tidak kenapa-kenapa. Kataku sambil berinsut-insut ke arah ibu berdiri.
Mih… tapi perasaan ibu tetap tidak enak! Tambah ibu lagi, sepertinya ibu berfikir sesuatu.
Ada apa lagi Bu? Kan ibu tidak apa-apa!
Ketika pohon itu tumbang, sayup-sayup ibu mendengar suara orang memanggil ibu. Rasanya suara itu sangat akrab dengan Ibu.
Apa? Ibu mendengar suara yang akrab dengan ibu?
Iya Mih… Ibu merasa itu suara Aba..ng..mu. Kata ibu terbata-bata.
Tetapi ibu tidak yakin itu suara Abang Mih. Makanya ibu pulang untuk memastikan. Ibu yakin Indra masih di rumah karena tadi ibu melihatnya langsung tidur ketika pulang sekolah.
Ibuuu… Aku menangis
Kenapa kamu menangis Nak? Duduklah disini, ibu menopangku ke atas sofa.
Ibu…  Tadi Abang keluar mencari ibu.
Siapa yang menyuruhnya keluar?
Aku Bu… Karena ibu juga belum pulang, hujan lebat sekali. Aku takut ibu celaka.

Ibu melepaskan tangannya dari tubuhku. Aku terhempas ke lantai. Ibu berlari tanpa mengambil payung dan berteriak.
Anakku…… Indraaaaaaaaaaaaa.
Suara kencang ibu terdengar oleh orang-orang sehingga banyak orang yang keluar untuk menyelidiki. Ibu berlari ke arah pohon yang tumbang, hari masih hujan tetapi tidak selebat hujan yang tadi.
Abang ditandu ke rumah dengan darah berlumuran dari kepalanya sehingga wajahnya tidak terlihat. Ibu, ayah, dan uni-uniku menangis sejadi-jadinya. aku juga menangis melihat mereka semua menangis.
Kenapa dengan abang Bu? Tanyaku sambil menangis.
Abangmu sudah meninggal Nak… Ibu menjawab pertanyaanku sambil mengusap air mata di pipinya.
Sudahlah kau duduk disini dulu, ibu akan menghidupkan air. Lalu ibu beranjak meninggalkanku.
Aku melihat Ayah sangat terpukul sekali dengan keadaan ini. Dari tadi aku melihatnya tak ada pernah melepaskan pangkuannnya dari badan Abang. Aku mengerti kenapa ayah seperti itu karena ayah sangat mencintainya. Ayah berharap Abang lah yang nantinya akan menggantikan pekerjaannya. Lagi pula hanya Abang Indra anak ayah satu-satunya laki-laki.
Ayah melihat ke arahku. Mata kami bertemu. Ayah berdiri dan berjalan mendekatiku. Aku gemetar. Entah kenapa rasa takut mempengaruhiku. Aku sudah melihat ayah yang biasanya. Ia pasti akan memarahiku dan menyalahkan aku lagi.
Hei… Anak cacat! Kenapa kamu tidak pernah berhenti dari kesialan itu? Kamu selalu membuat petaka di rumah ini! Suara ayah sangat keras shingga orang-orang melihat ke arah kami berdua.
Aku diam. Aku tidak pernah menjawab kata-kata ayah. Semua yang ayah katakan benar. Aku memang pembuat petaka di rumah ini. Air mataku tak mau terbendung. Ia megalir di pipiku.
Kau menangis? Kau mengakui kesalahan? Ayah semakin menjelek-jelekkan aku.

Ibu hanya bisa melihat, tak berani berkata apa-apa. Sedangkan orang yang selalu membelaku di hadapan ayah sekarang sudah terbaring dan tidak akan pernah lagi berbicara.

Anak cacat… Aku tahu sekarang kamu pasti berharap ada orang yang membelamu? Tidak akan ada lagi orang di rumah ini yang akan menghalangiku untuk melakukan sesuatu kepada mu.

Aku sudah tidak tahan, kali ini ayah sangat keterlaluan. Aku hilangkan rasa takutku.

Ayah… Aku punya nama! Bukankah ayah yang memberiku nama dulu? Lalu kenapa ayah selalu memanggilku anak cacat? Apakah ayah sudah lupa dengan namaku?
Aku anak ayah, Mihar. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang ingin terlahir cacat. Begitu juga dengan orang tua. Orang tua juga tidak ingin anaknya cacat. Tetapi ayah dibedakan Oleh Sang Pencipta. Allah menguji kesabaran ayah Yah!

Rasa takutku hilang, aku dapat berbicara dengan tidak terbata-bata. Tetapi ayah semakin murka. Ia mengangkat tangannya hendak memukulku.
Sudahlah pak, tidak baik seperti itu. Bapak ingin melihat Indra bersedih karena ulah bapak yang ingin menganiaya adiknya? Seseorang datang menyambut tamparan ayah yang ditujukan kepadaku.

Amarah ayah berhenti. Aku sangat berterima kasih sekali kepada orang itu. Aku tidak tahu namanya. Baru sekali ini ia datang ke rumah. Pakaiannya sama dengan ayah. Aku befikir mungkin itu rekan kerjanya.
Setelah beberapa hari jenazah Abang Indra dimakamkan keluargaku masih menyalahkan aku. Mereka beranggapan aku lah penyebabnya. Jika aku tidak menyuruh Abang untuk pergi mencari ibu pasti ini tidak akan terjadi.
Ibu yang biasanya selalu menopangku ke atas kursi sekarang sudah tidak lagi. Aku yang berusaha sendiri berinsut-rinsut ke kursi tempat dudukku. Aku tidak tahu sampai kapan mereka akan menyalahkan ku.
 Padang, 21 April 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar