Sore ini tak seperti
biasanya. Awan-awan bergumpalan seperti mau jatuh dari langit. Gemuruh
sahut-sahutan dari ujung ke ujung. Air mulai jatuh satu-satu. Kambing-kambing
berlarian. Induk ayam memanggil-manggil anaknya. Orang-orang berlari untuk
mengejar jemuran pakainnya. Tetapi tidak dengan aku. Aku selalu duduk di kursi
ini. Sebuah kursi yang selalu setia kepadaku. Dari kursi ini aku dapat melihat
apa yang dikerjakan oleh orang lain.
Bagiku kursi sudah
menjadi seorang teman, dengan kursi aku berdiskusi dan menceritakan apa yang
aku rasakan. Ia menjadi pendengar setiaku.
Aku ingin seperti
orang-orang yang pernah merasakan hujan dan panasnya terik matahari. Aku hanya
mampu merasakan dingin dan panas di dalam ruangan. Kadang kalau terlalu panas
ibuku akan menghidupkan kipas angin yang ada di depan kursiku.
Mihar.. tutuplah jendelamu,!! hujan
lebat sekali ditambah pula dengan angin kencang. kata ibu dari dapur.
Iya
Bu.. kataku sambil menutup jendela.
Ibu datang untuk menopangku
ke tempat tidur. Ini adalah pekerjaan rutin yang dilakukan ibu untuk
menolongku. Aku heran kenapa hanya ibu yang mau. Ayah dan uni-uniku jarang
sekali melakukan ini. Di antara saudara-saudaraku hanya Abang Indra yang merasa
kasihan kepadaku.
Kamu
di sini saja ya Nak.. kata ibu sambil mendudukkan ku.
Ibu
mau kemana? Tanyaku
Ibu
mau mencari kambing kita, kambing belum pulang semuanya Mih…
Oh…
tapi hujan masih lebat Bu, nanti sajalah kalau sudah reda. Kataku
melarang ibu pergi.
Memang hari hujan Mih, tetapi
bagaimana dengan kambing? Ia akan mati kehujanan. Ibu
berkata sambil mengambil payung yang digantungkan di belakang pintu.
Ibu
mengembang payungnya dan pergi meninggalkan ku.
Aku ingin melihat
kemana ibu akan pergi. Tetapi kaki ini, kaki ini tak pernah mau dilangkahkan.
Kakiku yang mengekangku. Aku tidak sebebas orang lain. Aku ingin menolong
ibuku, aku tak ingin ibuku celaka.
Sudah satu jam ibu
pergi belum juga kembali. Hatiku tidak tenang, aku ingin mencari ibuku. Tetapi
aku tidak bisa. Aku teringat dengan Bang Indra yang tadi tidur dalam kamarnya.
Bang… Bangun Bang.
Aku memanggil Abangku yang tidur semenjak hujan turun tadi.
Tapi Abang tidak
mendengarku. Akhirnya aku berinsut-rinsut di atas lantai dengan susah payah
sampai keringatku keluar di hari yang dingin ini menuju kamar Abang.
Bang…
bangun Bang. Kataku sambil menggoyang-goyang
badannya.
Iya…
Jawab Abang sambil menggosok-gosok matanya.
Ada
apa Mih? Kenapa membangunkan Abang?
Bang, Ibu belum pulang. Ia pergi
satu jam yang lalu mencari kambing. Kataku sambil
merengek dan terus menggoyang tubuh Abang.
Kamu
lihat ke arah mana ibu pergi? Tanya Abang dengan
panasaran.
Tidak
Bang, tadi ibu mengantarkanku ke temapt tidur dan ia langsung pergi.
Ya sudah. Kau disini saja ya…
jangan keluar-keluar! Biar abang yang mencari Ibu.
Kata Abang meyakinkanku.
Iya
Bang… hati-hati!
Abang tak menghiraukan
pesanku, ia langsung mengambil payung yang ada di belakang pintu. Di rumahku
memang punya payung satu per orang kecuali aku. Aku tidak dibelikan karena aku
tidak mebutuhkannya. Aku tidak sesibuk ayah, ibu dan saudara-saudaraku. Aku
selalu di rumah dan duduk di dekat jendela. Aku tak merasakan panas yang sebenarnya,
aku hanya merasakan cahaya matahari yang masuk lewat jendela dekat aku duduk. Begitu
juga dengan hujan.
Aku mulai kwatir, sudah
empat puluh lima menit Abang pergi belum juga kembali. Tetapi aku sudah
mendengar ada suara di belakang rumah. Mungkin itu ibu, kataku dalam hati.
Ibu…
ibu sudah kembali? Lama sekali ibu menjawabnya sampai aku
melihat pintu terbuka dan ibu menginjakkan kakinya di atas kesset sambil berkata “Sudah…tapi
perasaan ibu tidak enak. Ibu tampak ada sesuatu yang dipikirkannya.
Memangnya
ada apa Bu? Tanyaku penasaran melihat kekwatiran
ibu.
Tadi ketika ibu lewat pohon yang di
ujung kebun Pak Umar, ibu melihat pohon itu sangat bergoyang sekali, karena
takut ibu berlari-kencang-kencang. Belum jauh dari tempat itu pohonnya tumbang
Mih.
Alhamdulillah
ibu tidak kenapa-kenapa. Kataku sambil berinsut-insut ke arah
ibu berdiri.
Mih… tapi perasaan ibu tetap tidak
enak! Tambah ibu lagi, sepertinya ibu berfikir sesuatu.
Ada
apa lagi Bu? Kan ibu tidak apa-apa!
Ketika pohon itu tumbang, sayup-sayup
ibu mendengar suara orang memanggil ibu. Rasanya suara itu sangat akrab dengan
Ibu.
Apa?
Ibu mendengar suara yang akrab dengan ibu?
Iya
Mih… Ibu merasa itu suara Aba..ng..mu. Kata ibu
terbata-bata.
Tetapi ibu tidak yakin itu suara
Abang Mih. Makanya ibu pulang untuk memastikan. Ibu yakin Indra masih di rumah
karena tadi ibu melihatnya langsung tidur ketika pulang sekolah.
Ibuuu…
Aku menangis
Kenapa
kamu menangis Nak? Duduklah disini, ibu menopangku ke atas sofa.
Ibu…
Tadi Abang keluar mencari ibu.
Siapa
yang menyuruhnya keluar?
Aku
Bu… Karena ibu juga belum pulang, hujan lebat sekali. Aku takut ibu celaka.
Ibu melepaskan
tangannya dari tubuhku. Aku terhempas ke lantai. Ibu berlari tanpa mengambil
payung dan berteriak.
Anakku……
Indraaaaaaaaaaaaa.
Suara kencang ibu
terdengar oleh orang-orang sehingga banyak orang yang keluar untuk menyelidiki.
Ibu berlari ke arah pohon yang tumbang, hari masih hujan tetapi tidak selebat
hujan yang tadi.
Abang ditandu ke rumah dengan
darah berlumuran dari kepalanya sehingga wajahnya tidak terlihat. Ibu, ayah, dan
uni-uniku menangis sejadi-jadinya. aku juga menangis melihat mereka semua
menangis.
Kenapa
dengan abang Bu? Tanyaku sambil menangis.
Abangmu sudah meninggal Nak… Ibu
menjawab pertanyaanku sambil mengusap air mata di pipinya.
Sudahlah
kau duduk disini dulu, ibu akan menghidupkan air.
Lalu ibu beranjak meninggalkanku.
Aku melihat Ayah sangat
terpukul sekali dengan keadaan ini. Dari tadi aku melihatnya tak ada pernah
melepaskan pangkuannnya dari badan Abang. Aku mengerti kenapa ayah seperti itu
karena ayah sangat mencintainya. Ayah berharap Abang lah yang nantinya akan
menggantikan pekerjaannya. Lagi pula hanya Abang Indra anak ayah satu-satunya
laki-laki.
Ayah melihat ke arahku.
Mata kami bertemu. Ayah berdiri dan berjalan mendekatiku. Aku gemetar. Entah
kenapa rasa takut mempengaruhiku. Aku sudah melihat ayah yang biasanya. Ia
pasti akan memarahiku dan menyalahkan aku lagi.
Hei…
Anak cacat! Kenapa kamu tidak pernah berhenti dari kesialan itu? Kamu selalu
membuat petaka di rumah ini! Suara ayah sangat
keras shingga orang-orang melihat ke arah kami berdua.
Aku diam. Aku tidak
pernah menjawab kata-kata ayah. Semua yang ayah katakan benar. Aku memang
pembuat petaka di rumah ini. Air mataku tak mau terbendung. Ia megalir di
pipiku.
Kau
menangis? Kau mengakui kesalahan? Ayah semakin menjelek-jelekkan
aku.
Ibu hanya bisa melihat,
tak berani berkata apa-apa. Sedangkan orang yang selalu membelaku di hadapan
ayah sekarang sudah terbaring dan tidak akan pernah lagi berbicara.
Anak cacat… Aku tahu sekarang kamu
pasti berharap ada orang yang membelamu? Tidak akan ada lagi orang di rumah ini
yang akan menghalangiku untuk melakukan sesuatu kepada mu.
Aku sudah tidak tahan,
kali ini ayah sangat keterlaluan. Aku hilangkan rasa takutku.
Ayah… Aku punya nama! Bukankah ayah
yang memberiku nama dulu? Lalu kenapa ayah selalu memanggilku anak cacat?
Apakah ayah sudah lupa dengan namaku?
Aku anak ayah, Mihar. Tidak ada
seorang pun di dunia ini yang ingin terlahir cacat. Begitu juga dengan orang
tua. Orang tua juga tidak ingin anaknya cacat. Tetapi ayah dibedakan Oleh Sang
Pencipta. Allah menguji kesabaran ayah Yah!
Rasa takutku hilang,
aku dapat berbicara dengan tidak terbata-bata. Tetapi ayah semakin murka. Ia
mengangkat tangannya hendak memukulku.
Sudahlah pak, tidak baik seperti
itu. Bapak ingin melihat Indra bersedih karena ulah bapak yang ingin menganiaya
adiknya? Seseorang datang menyambut tamparan ayah yang
ditujukan kepadaku.
Amarah ayah berhenti.
Aku sangat berterima kasih sekali kepada orang itu. Aku tidak tahu namanya.
Baru sekali ini ia datang ke rumah. Pakaiannya sama dengan ayah. Aku befikir
mungkin itu rekan kerjanya.
Setelah beberapa hari
jenazah Abang Indra dimakamkan keluargaku masih menyalahkan aku. Mereka
beranggapan aku lah penyebabnya. Jika aku tidak menyuruh Abang untuk pergi
mencari ibu pasti ini tidak akan terjadi.
Ibu yang biasanya selalu
menopangku ke atas kursi sekarang sudah tidak lagi. Aku yang berusaha sendiri
berinsut-rinsut ke kursi tempat dudukku. Aku tidak tahu sampai kapan mereka
akan menyalahkan ku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar