Count visitor

Minggu, 15 April 2012

Pertemuan Istimewa di Hari Ulang Tahunku Oleh Asra Syahrul


Pertemuan Istimewa di Ulang Tahun yang ke -21
Oleh : Asra Hayati Syahrul Nova
Hidup adalah pilihan. Ketika kita sudah memilih yang kita butuhkan adalah perjuangan. Nah, dalam pejuangan tersebut sangat dibutuhkan usaha yang maksimal untuk mencapai apa yang telah kita pilih. Aku sudah memilih dan siap dengan tantangan yang akan dihadapi. Menurutku tantangan, rintangan, halangan dan bahkan kegagalan itu adalah seni dalam berjuang. Dari seni tersebut kita akan berusaha untuk lebih baik lagi.
Aku memutuskan untuk melanjutkan studiku ke daerah yang belum pernah aku tempuh sebelumnya, daerah yang penuh dengan kebudayaan yang sangat kental, bagus dan unik. Aku belum pernah menginjakkan kaki di tanah daerah tersebut tetapi aku ingin sekali untuk bergaul dengan orang-orang disana yaitu daerah Minangkabau, ya daerah Sumatra Barat, tepatnya di Padang.
Semua test sudah aku lakukan tetapi tidak pernah lulus. Ini adalah test terakhir melalui jalur mandiri dengan tiga pilihan yaitu Keperawatan, Kimia dan Sastra Indonesia. Aku pasrah pada sang pencipta jika aku ditakdirkan untuk menuntut ilmu ke tanah minang berarti aku lulus maka aku akan berangkat kesana tetapi jika tidak aku akan mengabdi di daerah kelahiranku. Hari berganti hari minggu berganti minggu, hasil test keluar dan Alhamdulillah aku ditakdirkan untuk menuntut ilmu ke tanah yang belum pernah aku menginjaknya, tanah Minang.
Daftar ulang adalah hari pertama aku melihat kota Padang, hari pertama aku datang ke daerah Minangkabau ini, daerah tempat berasalnya sastrawan hebat, Buya Hamka. Datang tanpa ditemani oleh siapapun, tanpa orangtua hanya ada bekal nomor handphone seniorku dulu ketika di SMA yang sekarang kuliah di Unand.
Kuliah di Universitas Andalas adalah sesuatu yang sudah lama aku cita-citakan dan sangat luar biasa bagiku. Dengan memilih belajar di Unand berarti aku harus meninggalkan kampung kelahiran dan akan berpisah dengan orang-orang yang aku sayangi. Berat rasanya kaki ini melangkah untuk meninggalkan kota yang sudah senantiasa menerima dan menemani saat suka maupun duka, yaitu Dumai, Propinsi Riau. Aku pikir itu adalah sebuah tantangan bagiku berpisah dengan orang-orang yang disayangi untuk sementara,. Aku berfikir sekarang adalah waktunya untuk melatih hidup yang lebih mandiri.
Sudah lima semester aku kuliah, hanya sekali pulang ke kampung yaitu ketika libur pada semester pertama. Sekarang aku sangat ingin pulang ke daerah kelahiran dan bertemu dengan keluarga tetapi itu tidak akan terjadi. Aku masih ingat kata-kata ibuku ketika ia menelephone aku terakhir kali, satu tahun yang lalu.
Nak… tidak usah pulang sebelum belajarmu selesai. Itu saja, simple sekali. Kata-kata yang tidak pernah aku harapkan dan akupun tidak mengerti kenapa ibuku berubah seperti itu. Ketika rasa panasaran menguasai seluruh tubuhku. Aku coba untuk menelphone balik tetapi nomornya sudah tidak bisa dihubungi. Semenjak itulah tidak ada yang menghubungiku lagi baik ibu maupun ayah.
Iya… Aku masih ingat ketika akan berangkat ke Padang untuk memulai kuliah, ibuku mengatakan bahwa ketika kita memutuskan untuk merantau maka orang yang di rantau itulah keluarga kita, keluarga tempat kita berbagi dalam kesedihan dan kebahagian. Jaga diri di rantau ya nak… jangan sampai orang menghindar karena takut dengan kejahatanmu.
Ah… Tidak… Tidak mungkin aku akan kehilangan keluarga dan menggantinya dengan keluarga di daerah rantau. Itu tidak mungkin bisa aku lakukan. Lagi-lagi aku mendapat tantangan yang sangat berbahaya, dua tahun lagi tidak akan bertemu dengan keluarga sangat sulit untuk aku terima. Hah… ini sangat menyedihkan. Sekarang yang aku pikirkan adalah bagaimana bisa tamat cepat dengan nilai yang baik dan menyandang gelar Sarjana Sastra nantinya. Aku tahu aku harus belajar dengan baik supaya cepat tamat dan kembali ke kampung halaman untuk bertemu dengan ibu.
Aku bukanlah seorang mahasiswa yang pintar, tetapi aku seorang mahasiswa yang rajin. Rajin datang, rajin berpartisipasi dalam perkuliahan, dan rajin menjawab soal ketika ujian dengan apa yang sudah didapatkan. Sehingga tidak ada alasan bagi dosen untuk memberi aku nilai C atau D.
Pada suatu hari, tepatnya satu tahun yang lalu ibu menelphoneku, hanphoneku bergetar ketika kuliah sedang berlangsung, aku biarkan saja tanpa menghiraukannya. Pada panggilan yang kelima aku sudah tidak tahan dan langsung mengeluarkannya dari dalam kantong rok. Aku tersentak kaget melihat nama kontak yang memanggilku, ‘my mother’. Iya… ibuku.. Panggilan yang sangat aku tunggu-tunggu, aku akan minta izin keluar dan akan menjawabnya, tetapi tanpa sepengetahuanku handphoneku ditarik oleh seseorang dari arah samping, ketika aku melihat ke arahnya ternyata dia adalah seorang yang sangat ditakuti oleh mahasiswa, dialah bapak yang dari tadi telah mengajar. Ekspresiku yang tadi penuh dengan harapan dapat berbicara dengan ibu yang hanya dapat sekali dalam setahun sekarang sudah berganti dengan ekspresi yang sangat menyedihkan, dan air mata pun mulai membasahi pipi ini. Dosen killer, itu lah julukan yang digunakan oleh mahasiswa untuk bapak itu. Hendrik namanya. Bapak Hendrik melihat ke arahku dengan ekspresi yang sudah biasa ia lakukan ke mahasiswa yang telah berbuat kesalahan. Aku tidak berani berkata apa-apa, hanya air mata yang terus bercucuran dan dadaku terasa sesak.
Aku dapati tubuhku terbaring di atas lantai yang hanya beralas karpet dalam sebuah ruangan yang sangat sepi. Aku pandangi wajah-wajah cemas disekelilingku yang sudah tidak asing lagi dalam penglihatan ini. Mereka adalah keluargaku yang di rantau seperti yang dikatakan oleh ibuku, mereka itu sahabatku: Mitha, Shinta, Tari dan Adek.
Merekah yang menggendongku kesini? Aku tidak tahu. Ya ampun… berarti tadi aku pingsan. Sungguh memalukan.
Dimana aku? Apa yang terjadi?
Pertanyaan yang konyol, tetapi aku tidak tahu harus bagaimana untuk menghilangkan kecemasan mereka, batinku.
Tadi kamu pingsan Va, jadi kami gendong kesini. Kata Mitha dengan suara yang halus.
Ooh… kataku sambil memegang jidatku.
Aku langsung teringat dengan handphone, semoga ibuku masih memanggil.
Handphoneku mana? Tanyaku pada mereka.
Handphone kamu masih tempat pak Hendrik Va, beliau belum mengembalikannya, kata beliau kamu sendiri yang harus mengambilnya.
Ooh begitu… terimakasih ya. Aku langsung berlari untuk mencari Pak Hendrik ke fakultas, ternyata bertemu. Sebelum aku menyapa bapak itu sudah menyapa duluan.
Kamu mahasiswa yang tadi main handphhone ketika kuliah dengan saya?
Iya pak… jawabku tanpa berpikir panjang.
Kamu masih ingat apa akibatnya?
Masih pak…
Ya sudah kalau kamu masih ingat saya tidak perlu mengulangi lagi.
Situasi hening, aku berpikir bagaimana caranya untuk mengatasi masalah ini, aku masih ingat kontrak perkuliahhan ketika pertemuan pertama bahwa siapapun yang mengeluarkan dan main handphhone ketika perkuliahan berlangsung maka handphhonenya tidak akan diberikan kecuali datang dengan orangtua.
Orangtua? Kenapa harus dengan orangtua? Bukankah kita sudah menjadi mahasiswa? Kenapa masalah seperti ini masih melibatkan orangtua? Bagaimana caranya mereka bisa datang sedangkan untuk menghubungi mereka saja aku tidak tahu, kataku dalam hati. Hah.. Aku harus bicara yang sebenarnya. Ketika aku mau mulai berbicara, ternyata bapak ini lebih dahulu lagi.
Ya,,, Saya rasa anda harus meninggalkan ruangan saya, saya tidak mempunyai waktu yang banyak untuk mengurus masalah yang seperti ini. Saya orang yang menepati janji dan saya juga tidak ada alasan untuk mengubah kesepakatan pertama.
Saya heran sama anda, kenapa tidak bisa meluangkan waktu untuk belajar yang sungguh-sungguh ketika waktu perkuliahan. Apakah anda seorang pebisnis besar, yang jika tidak anda jawab telephonenya akan mengalami kerugian sekian milyar? Akan seperti apa dunia jika mahasiswanya seperti anda? Kata bapak itu melihat ke aku dengan penuh rasa kemarahan.
Tanpa mendengarkan apa yang akan aku sampaikan bapak itu sudah meninggalkan ruangannya.
Aku pasrah, tidak ada cara yang bisa aku lakukan untuk dapat mengambil handphoneku itu kecuali dengan membawa orangtua. Aku tahu dari senior bahwa bapak itu tidak main-main dengan janjinya, sudah banyak senior yang mempunyai masalah yang sama denganku dengan bapak itu.
Sebagai seorang ibu yang mempunyai hubungan batin dengan anaknya, ia tidak akan merasa tenang. Kenapa anaknya tidak menjawab telephonennya sedangkan itu adalah waktu yang sangat ditunggu-tunggunya. Sakitkah dia? Atau terjadi sesuatu yang buruk?
Aku berusaha untuk tidak merasa terbebani dengan masalah ini, aku akan berusaha untuk melupakannya dan aku juga tidak akan berharap banyak tentang hp untuk kembali ke tanganku. Aku pejamkan mata ini dan akan bangun dengan hari yang beda.
Ketika rasa enggan mempengaruhi manusia, enggan berpisah dengan kasur yang empuk, bantal dan selimut yang harum, samar-samar terdengar ketukan pintu.
Tok…tok…tok…
Pintu mana yang pagi-pagi ini sudah diketuk orang? Jangan-jangan orang yang mau menghipnotis, batinku.
Lama sekali orang itu mengetuk pintu, baru aku sadar kalau pintu yang diketuk adalah pintu masuk ke kontrakanku.
Siapa yang datang pagi-pagi ini? Aku lihat jam di dinding menunjukkan pukul 04:45, sebentar lagi akan azan shalat subuh, tidak mungkin orang yang datang ini orang yang jahat. Dengan membaca Bismillahirrahmanirrahim aku buka pintu.
Betapa terkejutnya aku ketika melihat sosok yang ada di depanku, dia adalah motivatorku, orang yang telah melahirkanku, menyusuiku dan ia juga yang telah melarang aku pulang dua tahun yang lalu. Dia adalah ibuku orang yang sangat aku rindukan .Aku peluk orang yang sangat ku rindui ini, air mataku membasahi pundaknya begitu juga dengannya, air matanya membasahi pundakku.
ibu menceritakan semua penderitaan yang dialaminya termasuk bahwa ia sudah diceraikan dua tahun yang lalu. Alasannya hanya karena ibu tidak dapat lagi memberikan keturunan. Aku juga menceritakan apa yang menimpaku semenjak ibu tidak ada menghubungiku, termasuk tentang masalah dengan pak Hendrik.
Ibu mau membantu aku untuk mengambil handphoneku yang lagi disita. Aku dengan rasa takut masuk ke dalam ruangan Pak Hendrik ditemani oleh ibuku. Aku sangat kaget ketika aku tahu bahwa ibuku dan Pak Hendrik adalah teman ketika SMA dulu dan mereka sudah merencanakan ini semua. Aku tidak menyangka bahkan aku lupa bahwa hari itu tanggal 02 November, hari ulang tahunku yang ke-21.
Ini adalah hari ulang tahun yang paling istimewa dalam hidupku, tidak ada kado tetapi pertemuan yang tidak disangka dengan cara yang menegangkan. Pertemuan yang aku pikir dua tahun lagi akan terjadi sekarang orangnya sudah ada di sampingku dan aku juga tidak akan melihat ibu disiksa lagi karena mereka sekarang sudah bercerai. Selama ini ibu tidak pernah menghubungiku karena ia tidak mau aku tahu tentang apa yang ia alami, ternyata dia selalu menanyakan keadaanku dan bagaimana perkembangan belajarku di kota Padang kepada pak Hendrik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar