Pertemuan
Istimewa di Ulang Tahun yang ke -21
Oleh : Asra
Hayati Syahrul Nova
Hidup adalah pilihan. Ketika kita sudah memilih yang
kita butuhkan adalah perjuangan. Nah, dalam pejuangan tersebut sangat
dibutuhkan usaha yang maksimal untuk mencapai apa yang telah kita pilih. Aku
sudah memilih dan siap dengan tantangan yang akan dihadapi. Menurutku
tantangan, rintangan, halangan dan bahkan kegagalan itu adalah seni dalam
berjuang. Dari seni tersebut kita akan berusaha untuk lebih baik lagi.
Aku memutuskan untuk melanjutkan studiku ke daerah
yang belum pernah aku tempuh sebelumnya, daerah yang penuh dengan kebudayaan
yang sangat kental, bagus dan unik. Aku belum pernah menginjakkan kaki di tanah
daerah tersebut tetapi aku ingin sekali untuk bergaul dengan orang-orang disana
yaitu daerah Minangkabau, ya daerah Sumatra Barat, tepatnya di Padang.
Semua test sudah aku lakukan tetapi tidak pernah
lulus. Ini adalah test terakhir melalui jalur mandiri dengan tiga pilihan yaitu
Keperawatan, Kimia dan Sastra Indonesia. Aku pasrah pada sang pencipta jika aku
ditakdirkan untuk menuntut ilmu ke tanah minang berarti aku lulus maka aku akan
berangkat kesana tetapi jika tidak aku akan mengabdi di daerah kelahiranku. Hari
berganti hari minggu berganti minggu, hasil test keluar dan Alhamdulillah aku
ditakdirkan untuk menuntut ilmu ke tanah yang belum pernah aku menginjaknya,
tanah Minang.
Daftar ulang adalah hari pertama aku melihat kota
Padang, hari pertama aku datang ke daerah Minangkabau ini, daerah tempat
berasalnya sastrawan hebat, Buya Hamka. Datang tanpa ditemani oleh siapapun,
tanpa orangtua hanya ada bekal nomor
handphone seniorku dulu ketika di SMA yang sekarang kuliah di Unand.
Kuliah di Universitas Andalas adalah sesuatu yang
sudah lama aku cita-citakan dan sangat luar biasa bagiku. Dengan memilih
belajar di Unand berarti aku harus meninggalkan kampung kelahiran dan akan
berpisah dengan orang-orang yang aku sayangi. Berat rasanya kaki ini melangkah
untuk meninggalkan kota yang sudah senantiasa menerima dan menemani saat suka
maupun duka, yaitu Dumai, Propinsi Riau. Aku pikir itu adalah sebuah tantangan
bagiku berpisah dengan orang-orang yang disayangi untuk sementara,. Aku
berfikir sekarang adalah waktunya untuk melatih hidup yang lebih mandiri.
Sudah lima semester aku kuliah, hanya sekali pulang
ke kampung yaitu ketika libur pada semester pertama. Sekarang aku sangat ingin
pulang ke daerah kelahiran dan bertemu dengan keluarga tetapi itu tidak akan
terjadi. Aku masih ingat kata-kata ibuku ketika ia menelephone aku terakhir kali, satu tahun yang lalu.
Nak… tidak usah
pulang sebelum belajarmu selesai. Itu saja,
simple sekali. Kata-kata yang tidak pernah aku harapkan dan akupun tidak
mengerti kenapa ibuku berubah seperti itu. Ketika rasa panasaran menguasai
seluruh tubuhku. Aku coba untuk
menelphone balik tetapi nomornya sudah tidak bisa dihubungi. Semenjak itulah
tidak ada yang menghubungiku lagi baik ibu maupun ayah.
Iya… Aku masih ingat ketika akan berangkat ke Padang
untuk memulai kuliah, ibuku mengatakan bahwa ketika kita memutuskan untuk
merantau maka orang yang di rantau itulah keluarga kita, keluarga tempat kita
berbagi dalam kesedihan dan kebahagian. Jaga
diri di rantau ya nak… jangan sampai orang menghindar karena takut dengan kejahatanmu.
Ah… Tidak… Tidak mungkin aku akan kehilangan
keluarga dan menggantinya dengan keluarga di daerah rantau. Itu tidak mungkin
bisa aku lakukan. Lagi-lagi aku mendapat tantangan yang sangat berbahaya, dua tahun
lagi tidak akan bertemu dengan keluarga sangat sulit untuk aku terima. Hah… ini
sangat menyedihkan. Sekarang yang aku pikirkan adalah bagaimana bisa tamat
cepat dengan nilai yang baik dan menyandang gelar Sarjana Sastra nantinya. Aku
tahu aku harus belajar dengan baik supaya cepat tamat dan kembali ke kampung
halaman untuk bertemu dengan ibu.
Aku bukanlah seorang mahasiswa yang pintar, tetapi aku
seorang mahasiswa yang rajin. Rajin datang, rajin berpartisipasi dalam perkuliahan,
dan rajin menjawab soal ketika ujian dengan apa yang sudah didapatkan. Sehingga
tidak ada alasan bagi dosen untuk memberi aku nilai C atau D.
Pada suatu hari, tepatnya satu tahun yang lalu ibu menelphoneku, hanphoneku bergetar ketika
kuliah sedang berlangsung, aku biarkan saja tanpa menghiraukannya. Pada panggilan
yang kelima aku sudah tidak tahan dan langsung mengeluarkannya dari dalam
kantong rok. Aku tersentak kaget melihat nama kontak yang memanggilku, ‘my mother’. Iya… ibuku.. Panggilan yang
sangat aku tunggu-tunggu, aku akan minta izin keluar dan akan menjawabnya,
tetapi tanpa sepengetahuanku handphoneku
ditarik oleh seseorang dari arah samping, ketika aku melihat ke arahnya
ternyata dia adalah seorang yang sangat ditakuti oleh mahasiswa, dialah bapak
yang dari tadi telah mengajar. Ekspresiku yang tadi penuh dengan harapan dapat
berbicara dengan ibu yang hanya dapat sekali dalam setahun sekarang sudah
berganti dengan ekspresi yang sangat menyedihkan, dan air mata pun mulai
membasahi pipi ini. Dosen killer, itu
lah julukan yang digunakan oleh mahasiswa untuk bapak itu. Hendrik namanya. Bapak
Hendrik melihat ke arahku dengan ekspresi yang sudah biasa ia lakukan ke mahasiswa
yang telah berbuat kesalahan. Aku tidak berani berkata apa-apa, hanya air mata
yang terus bercucuran dan dadaku terasa sesak.
Aku dapati tubuhku terbaring di atas lantai yang
hanya beralas karpet dalam sebuah ruangan yang sangat sepi. Aku pandangi
wajah-wajah cemas disekelilingku yang sudah tidak asing lagi dalam penglihatan
ini. Mereka adalah keluargaku yang di rantau seperti yang dikatakan oleh ibuku,
mereka itu sahabatku: Mitha, Shinta, Tari dan Adek.
Merekah yang menggendongku kesini? Aku tidak tahu.
Ya ampun… berarti tadi aku pingsan. Sungguh memalukan.
Dimana aku? Apa
yang terjadi?
Pertanyaan yang konyol, tetapi aku tidak tahu harus
bagaimana untuk menghilangkan kecemasan mereka, batinku.
Tadi kamu
pingsan Va, jadi kami gendong kesini.
Kata Mitha dengan suara yang halus.
Ooh… kataku
sambil memegang jidatku.
Aku langsung teringat dengan handphone, semoga ibuku masih memanggil.
Handphoneku
mana? Tanyaku pada mereka.
Handphone kamu
masih tempat pak Hendrik Va, beliau belum mengembalikannya, kata beliau kamu
sendiri yang harus mengambilnya.
Ooh begitu…
terimakasih ya. Aku langsung berlari untuk mencari
Pak Hendrik ke fakultas, ternyata bertemu. Sebelum aku menyapa bapak itu sudah
menyapa duluan.
Kamu mahasiswa
yang tadi main handphhone ketika kuliah dengan saya?
Iya pak… jawabku
tanpa berpikir panjang.
Kamu masih ingat
apa akibatnya?
Masih pak…
Ya sudah kalau
kamu masih ingat saya tidak perlu mengulangi lagi.
Situasi hening, aku berpikir bagaimana caranya untuk
mengatasi masalah ini, aku masih ingat kontrak perkuliahhan ketika pertemuan
pertama bahwa siapapun yang mengeluarkan dan main handphhone ketika perkuliahan berlangsung maka handphhonenya tidak akan diberikan
kecuali datang dengan orangtua.
Orangtua? Kenapa harus dengan orangtua? Bukankah
kita sudah menjadi mahasiswa? Kenapa masalah seperti ini masih melibatkan
orangtua? Bagaimana caranya mereka bisa datang sedangkan untuk menghubungi mereka
saja aku tidak tahu, kataku dalam hati. Hah.. Aku harus bicara yang sebenarnya.
Ketika aku mau mulai berbicara, ternyata bapak ini lebih dahulu lagi.
Ya,,, Saya rasa
anda harus meninggalkan ruangan saya, saya tidak mempunyai waktu yang banyak
untuk mengurus masalah yang seperti ini. Saya orang yang menepati janji dan
saya juga tidak ada alasan untuk mengubah kesepakatan pertama.
Saya heran sama
anda, kenapa tidak bisa meluangkan waktu untuk belajar yang sungguh-sungguh
ketika waktu perkuliahan. Apakah anda seorang pebisnis besar, yang jika tidak
anda jawab telephonenya akan mengalami kerugian sekian milyar? Akan seperti apa
dunia jika mahasiswanya seperti anda? Kata bapak itu melihat ke aku dengan
penuh rasa kemarahan.
Tanpa mendengarkan apa yang akan aku sampaikan bapak
itu sudah meninggalkan ruangannya.
Aku pasrah, tidak ada cara yang bisa aku lakukan
untuk dapat mengambil handphoneku itu
kecuali dengan membawa orangtua. Aku tahu dari senior bahwa bapak itu tidak
main-main dengan janjinya, sudah banyak senior yang mempunyai masalah yang sama
denganku dengan bapak itu.
Sebagai seorang ibu yang mempunyai hubungan batin
dengan anaknya, ia tidak akan merasa tenang. Kenapa anaknya tidak menjawab telephonennya sedangkan itu adalah waktu
yang sangat ditunggu-tunggunya. Sakitkah
dia? Atau terjadi sesuatu yang buruk?
Aku berusaha untuk tidak merasa terbebani dengan
masalah ini, aku akan berusaha untuk melupakannya dan aku juga tidak akan
berharap banyak tentang hp untuk kembali ke tanganku. Aku pejamkan mata ini dan
akan bangun dengan hari yang beda.
Ketika rasa enggan mempengaruhi manusia, enggan
berpisah dengan kasur yang empuk, bantal dan selimut yang harum, samar-samar
terdengar ketukan pintu.
Tok…tok…tok…
Pintu mana yang
pagi-pagi ini sudah diketuk orang? Jangan-jangan
orang yang mau menghipnotis, batinku.
Lama sekali orang itu mengetuk pintu, baru aku sadar
kalau pintu yang diketuk adalah pintu masuk ke kontrakanku.
Siapa yang
datang pagi-pagi ini? Aku lihat jam di
dinding menunjukkan pukul 04:45, sebentar lagi akan azan shalat subuh, tidak
mungkin orang yang datang ini orang yang jahat. Dengan membaca Bismillahirrahmanirrahim aku buka pintu.
Betapa terkejutnya aku ketika melihat sosok yang ada
di depanku, dia adalah motivatorku, orang yang telah melahirkanku, menyusuiku
dan ia juga yang telah melarang aku pulang dua tahun yang lalu. Dia adalah
ibuku orang yang sangat aku rindukan .Aku peluk orang yang sangat ku rindui
ini, air mataku membasahi pundaknya begitu juga dengannya, air matanya
membasahi pundakku.
ibu menceritakan semua penderitaan yang dialaminya
termasuk bahwa ia sudah diceraikan dua tahun yang lalu. Alasannya hanya karena
ibu tidak dapat lagi memberikan keturunan. Aku juga menceritakan apa yang
menimpaku semenjak ibu tidak ada menghubungiku, termasuk tentang masalah dengan
pak Hendrik.
Ibu mau membantu aku untuk mengambil handphoneku yang lagi disita. Aku dengan
rasa takut masuk ke dalam ruangan Pak Hendrik ditemani oleh ibuku. Aku sangat
kaget ketika aku tahu bahwa ibuku dan Pak Hendrik adalah teman ketika SMA dulu
dan mereka sudah merencanakan ini semua. Aku tidak menyangka bahkan aku lupa
bahwa hari itu tanggal 02 November, hari ulang tahunku yang ke-21.
Ini adalah hari ulang tahun yang paling istimewa
dalam hidupku, tidak ada kado tetapi pertemuan yang tidak disangka dengan cara
yang menegangkan. Pertemuan yang aku pikir dua tahun lagi akan terjadi sekarang
orangnya sudah ada di sampingku dan aku juga tidak akan melihat ibu disiksa
lagi karena mereka sekarang sudah bercerai. Selama ini ibu tidak pernah
menghubungiku karena ia tidak mau aku tahu tentang apa yang ia alami, ternyata
dia selalu menanyakan keadaanku dan bagaimana perkembangan belajarku di kota
Padang kepada pak Hendrik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar