Count visitor

Minggu, 15 April 2012

Gudeg Blasteran

 Menggali nuansa yang berbeda. Sambil duduk - duduk di serambi rumah, di rumah bulekku. Di kota bermaskot tanduk kerbau ini. Menjelang kelam, semakin banyak orang orang baru  yang mengusik pandanganku. Berlalu - lalang bergantian. Ada pejabat publik dengan sedan berplat merahnya, SPG berseragam  orange pekat  dan hitam, milik sebuah mall ternama, anak laki-laki yang membawa dagangan di atas kepalanya,  sampai pria paruh baya yang mendorong gerobak dengan aroma sedap menggoda.
Letih sepertinya. Bekerja layaknya robot, yang dikendalikan oleh kondisi, sampai sampai meraka lupa akan hangatnya berkumpul   di rumah. Miris melihat bocah berseragam merah putih itu. Tak peduli kaki kecilnya  melangkah terseok-seok, tak peduli dengan teman sebayanya yang asyik bermain kelereng. Semoga saja ada pemimpin yang tertarik mencangkul hidupnya secara mendalam. Lalu tersentuh untuk meringankan beban mereka yang kerap menangis oleh biaya sekolah, biaya berobat, “biaya menemukan keadilan yang serba mahal. Tak banyak yang bisa aku lakukan, hanya berusaha menjadi generasi yang benar-benar dibutuhkan negeri ini, belajar yang benar, ilmu itu yang nantinya ku sumbangkan untuk merenovasi  semua keterpurukan ini.
Teng, teng, teng!!” Baksonya mbak?!”
Suara itu memecah lamunanku.
“Makasi Mas!, maaf,  ndak beli dulu..”
Menggoda memang, tapi perutku ini suadah  overload untuk beroperasi kembali. Kekenyangan habis makan dendeng batokok, masakan bulekku yang jarang aku temukan di kota gudeg.
“Sore Gendis!” Sapa cowok , yang sedang  berlari kecil lewat di depan, menyadarkan pandanganku pada bocah itu.
Berkeringat,  sepertinya baru pulang jogging sore.
“Sore ^_^..apa kabar  kal?”. Lengkapnya Haikal. Saut ku tersenyum anggun. Cowok bertubuh atelitis itu, mendekat mengampiriku .
“Baik, baru balik nih, jogging. Berhubung aku di sini, bisa minta nomor telfon kamu nggak?’
“Hmm.. boleh, untuk apa ya?” Merasa ragu.
“Ada hal penting, yang mau aku share ke kamu”.
Meski ragu, tapi  akhirnya ku berikan nomor handpone cantikku yang empat digit belakangnya menunjukkan tahun kemerdekaan Republik Indonesia, 1945.
“Thank ya, ntar aku telfon kamu, see you”.             
#        #        #
Suasana di sini, membuatku tak bisa bertahan lama, polusi suara, polusi udara, polusi hati, egoisme.   Akhirnya aku putuskan untuk kembali ke Jogja, setelah sebulan lamanya aku mengisi libur panjang . Berangkat ke bandara. Ada perasaan sedih, salah satunya dia, cowok yang meminta nomor telfonku, dua hari yan lalu. Tapi hingga detik ini, belum menghubungiku lagi. Tak tau dari mana perasaan itu muncul. Atau mungkin ini yang namanya ‘wating tresno jalaran soko kulino’.  ‘Persaan cinta, sayang itu ada  karena sering bersama’. (Pepatah Jawa).
“Tapi apa mungkin???, cowok dengan tinggi  170 centimeter, berkulit putih bersih, dan pernah memenangkan kontes sebagai cover boy, sebuah majalah remaja popular, menaruh perasaan yang sama paduku? gadis jawa berkulit hitam manis,  bermantel aura puteri keraton Jogja, dan terkesan katrok dengan logat jawa, oh ya?? Yang bener saja tho!”. Hati dan akalku bertarung,  berdebat argument.
Berangkat ke Bandara Minang Kabau, diantar bulekku. Sudah pasti ramai, ribut, orang-orang mondar mandir, tak bisa duduk manis , seperti yang aku lakukan. Ini giliran penerbangan pesawat ke Jogja, dan nantinya akn taransit dahulu di Jakarta, karena tidak ada penerbangan langsung ke kota Gudeg.
Akhirnya, setelah lebih kurang tiga jam perjalanan Padang-Jogja, aku tiba di kota Gudeg ini. Tapi  harus menempuh jarak beberapa kilometer, untuk bisa sampai di rumah.  Sebuah desa di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Kabupaten yang terkenal dengan salak pondohnya. Perjalanan yang melelelahkan, tapi rasa itu terbayar sudah, saat ojek motor yang ku naiki melewati panorama  Gunung Merapi, memang benar-benar gagah, indah. Seindah Desainernya, Seagung Kuasa-Nya.
                                                          #        #        #
Ini  yang kutunggu-tunggu sejak kemarin. Suasana tenang , jauh dari segala polusi. Tanpa membereskan barang bawaan, tak peduli betapa lengketnya badan ini oleh debu, dan keringat, langsung masuk kamar, istirahat, dan tidur.  
“Kriiiingg…kriiinggg…kriingg..!!!,  kedubrak-rak!”.  Tombolnya muncrat berantakan. Robot kecil itu, ya handponeku, berdering keras, seakan  meniupkan sangkakala, untuk membangunkan manusia dari tidur panjangnya. Spontan aku duduk, ternyata jam dinding di kamarku menunjukkan jarum panjangnya di angka 12 dan yang pendek di angka 6. Kemudian mengumpulkan bagian-bagian yang terserak. Ya, seperti semula. Ternyata, sepuluh panggilan tak terjawab.
“Haaa?? sopo seng telfon, bengi-bengi koyo ngene??” (sapa yang telfon malam-malam begini? Jam 23.00 Wib.) Ucap  hatiku.
Segera berdiri, dan bergerak menuju jendela kamar, ku buka pengaitnya, dan ku rasakan sensani wanginya pagi ini,  batapa sejuknya . Tuhan…
“Klenteng,,klenteng,,klenteng..” suara lonceng  yang terikat di leher kerbau.  Petani disini selalu menggembalakan  kerbau-kerbaunya lebih pagi. Sebab  setelah itu, merka mulai turun ke sawah untuk  mengusir burung-burung liar yang mencuri biji-biji padi siap panen. Haahh… nyiur hijau, sejauh mata memandang,  Orkestra jangkrik, dan burung-burung, berkolaborasi merdu. Sungguh berbeda dari kota bermaskot kerbau itu.
Tiba-tiba.. “Kriiing..kriiing…robot kecil di genggamanku berdering lagi , ternyata nomor  yang sama.
“Assalamualaikum..hallo?? maaf ini siapa ya? “
“ Haikal.,. Kemarin aku ketemu sama tante kamu, dia bilang kamu udah balik ke Jogja, kenapa nggak kasi kabar?? “. Nada suaranya terdengar  seperti orang menangis.
“Maaf, ndak bermaksud begitu, aku menunggu telfon kamu, tapi ndak pernah ada, mau ngomongin apa sebenarnya?”.
‘Langsung aja deh, may I know you more? Exactly, know your heart, honey? , since first met you, you're being quite different from most girls here. Bahasa inggrisnya patut diacungi  ibu jari. Hiks hiks..
Ya…, meskipun aku gadis jawa , tapi  kemampuanku untuk mengartikan maksud hatinya, tidak kalah dengan gadis-gadis di kota.
“Ha?? Ndak  mungkin kamu punya perasaan itu”. Sebenarnya, hati ini punya tujuan yang sama, tapi apa mungkin?.
Berbagai  alasan yang diutarakannya untuk meyakinkanku. 
“Maaf Haikal, Sejauh ini aku hanya memprioritaskan hati untuk kuliah dulu, tapi aku berharap kita masih bisa berhubungan baik, meski tidak seperti apa yang kamu harapkan,  sekali lagi maaf”. 
“Ya..ya ..ya, im fine, I’ll try to understanding, semoga kita tetap bisa bersilturahmi, girl”.                                                                                                                    
Itu bukan satu-satunya alasanku untuk tidak sepaham dengannya. Teringat akan kehidupan rumah tangga bulekku, yang kurang harmonis, karena membantah  nasehat nenekku, agar tidak menikah dengan suami pilihannya. Tapi karena ada suatu hal, akhirnya mereka menikah. Memang terasa , betapa pentingnya restu orang tua. Tradisi yang aneh, di keluargaku ada aturan-aturan yang melarang anak-anak perempuannya agar tidak menikah dengan orang minang. Dan sayangnya, Haikal berdarah minang.

|Violita kresna Wuri










Tidak ada komentar:

Posting Komentar