Menggali nuansa yang berbeda. Sambil duduk - duduk di
serambi rumah, di rumah bulekku. Di kota bermaskot tanduk kerbau ini. Menjelang
kelam, semakin banyak orang orang baru
yang mengusik pandanganku. Berlalu - lalang bergantian. Ada pejabat
publik dengan sedan berplat merahnya, SPG berseragam orange pekat
dan hitam, milik sebuah mall ternama, anak laki-laki yang membawa
dagangan di atas kepalanya, sampai pria
paruh baya yang mendorong gerobak dengan aroma sedap menggoda.
Letih sepertinya. Bekerja
layaknya robot, yang dikendalikan oleh kondisi, sampai sampai meraka lupa akan
hangatnya berkumpul di rumah. Miris
melihat bocah berseragam merah putih itu. Tak peduli kaki kecilnya melangkah terseok-seok, tak peduli dengan
teman sebayanya yang asyik bermain kelereng. Semoga saja ada pemimpin yang
tertarik mencangkul hidupnya secara mendalam. Lalu tersentuh untuk meringankan
beban mereka yang kerap menangis oleh biaya sekolah, biaya berobat, “biaya
menemukan keadilan yang serba mahal. Tak banyak yang bisa aku lakukan, hanya
berusaha menjadi generasi yang benar-benar dibutuhkan negeri ini, belajar yang
benar, ilmu itu yang nantinya ku sumbangkan untuk merenovasi semua keterpurukan ini.
Teng, teng, teng!!” Baksonya
mbak?!”
Suara itu memecah lamunanku.
“Makasi Mas!, maaf, ndak beli dulu..”
Menggoda memang, tapi perutku
ini suadah overload untuk beroperasi
kembali. Kekenyangan habis makan dendeng batokok, masakan bulekku yang jarang
aku temukan di kota gudeg.
“Sore Gendis!” Sapa cowok , yang
sedang berlari kecil lewat di depan,
menyadarkan pandanganku pada bocah itu.
Berkeringat, sepertinya baru pulang jogging sore.
“Sore ^_^..apa kabar kal?”. Lengkapnya Haikal. Saut ku tersenyum
anggun. Cowok bertubuh atelitis itu, mendekat mengampiriku .
“Baik, baru balik nih, jogging. Berhubung
aku di sini, bisa minta nomor telfon kamu nggak?’
“Hmm.. boleh, untuk apa ya?”
Merasa ragu.
“Ada hal penting, yang mau aku
share ke kamu”.
Meski ragu, tapi akhirnya ku berikan nomor handpone cantikku
yang empat digit belakangnya menunjukkan tahun kemerdekaan Republik Indonesia,
1945.
“Thank
ya, ntar aku telfon kamu, see you”.
# # #
Suasana di sini, membuatku tak bisa
bertahan lama, polusi suara, polusi udara, polusi hati, egoisme. Akhirnya aku putuskan untuk kembali ke Jogja,
setelah sebulan lamanya aku mengisi libur panjang . Berangkat ke bandara. Ada
perasaan sedih, salah satunya dia, cowok yang meminta nomor telfonku, dua hari
yan lalu. Tapi hingga detik ini, belum menghubungiku lagi. Tak tau dari mana
perasaan itu muncul. Atau mungkin ini yang namanya ‘wating tresno jalaran soko kulino’.
‘Persaan cinta, sayang itu ada
karena sering bersama’. (Pepatah Jawa).
“Tapi apa mungkin???, cowok
dengan tinggi 170 centimeter, berkulit
putih bersih, dan pernah memenangkan kontes sebagai cover boy, sebuah majalah
remaja popular, menaruh perasaan yang sama paduku? gadis jawa berkulit hitam
manis, bermantel aura puteri keraton
Jogja, dan terkesan katrok dengan logat jawa, oh ya?? Yang bener saja tho!”. Hati
dan akalku bertarung, berdebat argument.
Berangkat ke Bandara Minang
Kabau, diantar bulekku. Sudah pasti ramai, ribut, orang-orang mondar mandir,
tak bisa duduk manis , seperti yang aku lakukan. Ini giliran penerbangan
pesawat ke Jogja, dan nantinya akn taransit dahulu di Jakarta, karena tidak ada
penerbangan langsung ke kota Gudeg.
Akhirnya, setelah lebih kurang
tiga jam perjalanan Padang-Jogja, aku tiba di kota Gudeg ini. Tapi harus menempuh jarak beberapa kilometer, untuk
bisa sampai di rumah. Sebuah desa di
Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Kabupaten yang terkenal dengan salak pondohnya.
Perjalanan yang melelelahkan, tapi rasa itu terbayar sudah, saat ojek motor
yang ku naiki melewati panorama Gunung
Merapi, memang benar-benar gagah, indah. Seindah Desainernya, Seagung
Kuasa-Nya.
# # #
Ini
yang kutunggu-tunggu sejak kemarin.
Suasana tenang , jauh dari segala polusi. Tanpa membereskan barang bawaan, tak
peduli betapa lengketnya badan ini oleh debu, dan keringat, langsung masuk
kamar, istirahat, dan tidur.
“Kriiiingg…kriiinggg…kriingg..!!!, kedubrak-rak!”. Tombolnya muncrat berantakan. Robot kecil
itu, ya handponeku, berdering keras, seakan meniupkan sangkakala, untuk membangunkan
manusia dari tidur panjangnya. Spontan aku duduk, ternyata jam dinding di
kamarku menunjukkan jarum panjangnya di angka 12 dan yang pendek di angka 6. Kemudian
mengumpulkan bagian-bagian yang terserak. Ya, seperti semula. Ternyata, sepuluh
panggilan tak terjawab.
“Haaa?? sopo seng telfon,
bengi-bengi koyo ngene??” (sapa yang telfon malam-malam begini? Jam 23.00 Wib.)
Ucap hatiku.
Segera berdiri, dan bergerak
menuju jendela kamar, ku buka pengaitnya, dan ku rasakan sensani wanginya pagi
ini, batapa sejuknya . Tuhan…
“Klenteng,,klenteng,,klenteng..”
suara lonceng yang terikat di leher
kerbau. Petani disini selalu
menggembalakan kerbau-kerbaunya lebih
pagi. Sebab setelah itu, merka mulai
turun ke sawah untuk mengusir
burung-burung liar yang mencuri biji-biji padi siap panen. Haahh… nyiur hijau,
sejauh mata memandang, Orkestra
jangkrik, dan burung-burung, berkolaborasi merdu. Sungguh berbeda dari kota
bermaskot kerbau itu.
Tiba-tiba..
“Kriiing..kriiing…robot kecil di genggamanku berdering lagi , ternyata nomor yang sama.
“Assalamualaikum..hallo?? maaf
ini siapa ya? “
“ Haikal.,. Kemarin aku ketemu
sama tante kamu, dia bilang kamu udah balik ke Jogja, kenapa nggak kasi kabar??
“. Nada suaranya terdengar seperti orang
menangis.
“Maaf, ndak bermaksud begitu,
aku menunggu telfon kamu, tapi ndak pernah ada, mau ngomongin apa sebenarnya?”.
‘Langsung aja deh, may I know you more? Exactly, know your heart, honey? , since first met you, you're being quite
different from most girls here”.
Bahasa inggrisnya patut diacungi ibu
jari. Hiks hiks..
Ya…, meskipun aku gadis jawa ,
tapi kemampuanku untuk mengartikan
maksud hatinya, tidak kalah dengan gadis-gadis di kota.
“Ha?? Ndak mungkin kamu punya perasaan itu”. Sebenarnya, hati
ini punya tujuan yang sama, tapi apa mungkin?.
Berbagai alasan
yang diutarakannya untuk meyakinkanku.
“Maaf Haikal, Sejauh ini aku
hanya memprioritaskan hati untuk kuliah dulu, tapi aku berharap kita masih bisa
berhubungan baik, meski tidak seperti apa yang kamu harapkan, sekali lagi maaf”.
“Ya..ya
..ya, im fine, I’ll try to understanding, semoga kita tetap bisa bersilturahmi,
girl”.
Itu bukan satu-satunya alasanku
untuk tidak sepaham dengannya. Teringat akan kehidupan rumah tangga bulekku,
yang kurang harmonis, karena membantah
nasehat nenekku, agar tidak menikah dengan suami pilihannya. Tapi karena
ada suatu hal, akhirnya mereka menikah. Memang terasa , betapa pentingnya restu
orang tua. Tradisi yang aneh, di keluargaku ada aturan-aturan yang melarang
anak-anak perempuannya agar tidak menikah dengan orang minang. Dan sayangnya,
Haikal berdarah minang.
|Violita kresna Wuri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar