Dualisme Kompetisi, Salah PSSI??
Oleh David Murdi
Mahasiswa Fakultas Ekonomi Unand
Anggota OR Genta 2012
Kisruh
atau konflik sepakbola di Indonesia tampaknya belum berakhir dan akan semakin
berlanjut. PSSI sebagai induk organisasi sepakbola nasional kembali menjadi sorotan.
Selaku otoritas tertinggi sepakbola Indonesia, PSSI menunjuk tanpa kongres PT
LPIS (Liga Prima Indonesia Sportindo) sebagai penyelenggara liga di kasta
tertinggi untuk musim 2011/2012, serta mencabut mandat PT Liga Indonesia
sebagai pengelola kompetisi di tanah air. Hal ini menyebabkan kembali
terjadinya perpecahan dalam sepakbola nasional yang sebelumnya sempat mereda
dengan lengsernya Nurdin Halid sebagai Ketum PSSI.
Terpilihnya
nahkoda baru Djohar Arifin Husein bukannya memperbaiki keadaan malah
memperburuk suasana. PSSI membentuk kompetisi baru (IPL) yang diikuti oleh 24
klub, dimana enam klub diberi hadiah promosi karena dinilai dari sisi sejarah
masing masing. Klub pembelot yang dimaafkan (PSM, Persibo, Persema), klub
dengan fanatisme suporternya (Persebaya, PSMS), hingga klub degradasi terbaik
(Bontang FC). Sungguh alasan tidak masuk akal PSSI memberi promosi terhadap
enam klub tersebut. PSSI lebih cenderung mengambil keputusan bersifat politis
dibanding bersikap ksatria demi perkembangan sepakbola nasional ke arah yang
lebih baik.
Arogansi
sikap PSSI dikhawatirkan akan menghancurkan sepakbola Indonesia apabila terus
memimpin dengan sikap dan keputusan kontroversial mereka. Kekhawatiran tersebut
terkait dengan sikap PSSI yang tetap ngotot menggelar Indonesia Premiere League
(IPL) dibawah PT LPIS. Hal tersebut membuat terjadinya perpecahan internal klub
dan menghasilkan dualisme kepengurusan. Klub yang mengalami masalah ini
bukanlah klub kemarin sore, tetapi
klub seperti Persija, Arema, PSMS dan Persebaya memiliki pengaruh besar dalam
sejarah sepakbola Indonesia. Inilah hal yang mendasar mengapa klub berpaling
dari kompetisi resmi PSSI dan memilih tetap setia kepada PT Liga Indonesia.
Klub
klub yang berlaga di kompetisi illegal yang dianggap PSSI pasti punya alasan
tersendiri mengapa mereka lebih memilih ISL. Alasan yang paling rasional selain
pembagian saham yang tidak etis sudah jelas klub memprotes kebijakan politis
PSSI yakni promosi gratis yang diperoleh klub yang seharusnya berada di
kompetisi kelas dua liga Indonesia. Selain hal aneh tersebut, PSSI seharusnya
juga memberi pengertian kepada klub ISL tentang klub bentukan baru yang
langsung berada di kompetisi teratas yang harus merangkak dari bawah untuk
mencapai kasta tertinggi seperti layaknya klub lain. Tapi kenyataannya PSSI
malah memberi ancaman dan sanksi kepada klub yang ingin bermain di kompetisi
terbaik terbaik tersebut.
Namun
keputusan PSSI tidak ditanggapi tak ditanggapi, PT Liga Indonesia bersama klub
klub terbaik tanah air tetap ngotot menyelenggarakan ISL. Lembaga yang dipimpin
Djoko Driyono itu tetap menjalankan liga, meski PSSI tidak memberi izin dan
mengancam akan memberi sanksi berupa degradasi dan skorsing. Pada awalnya
partai muncul keraguan apakah PT Liga Indonesia sebagai penyelenggara kompetisi
yang statusnya tidak diakui oleh PSSI bisa mendapatkan izin penyelenggaraan
pertandingan dari pihak kepolisian. Namun, Badan Olahraga Profesional Indonesia
(BOPI) sebagai badan yang mengurusi kegiatan olahraga profesional di Indonesia
menganggap ISL sebagai kompetisi legal yang berjalan sesuai aturan. BOPI
akhirnya mengeluarkan surat rekomendasi untuk mengurus izin bertanding ke
kepolisian. Hal ini sontak membuat pengurus PSSI berang. Melalui ketua
kompetisi yang kontroversial, Sihar Sitorus, menganggap klub hanya boleh
mengikuti kompetisi yang berada dibawah naungan PSSI. Sihar mengatakan PSSI
akan segera mengambil tindakan hukum bagi klub dan sanksi bagi perangkat
pertandingan. Tak hanya itu PSSI akan menuntut PT Liga Indonesia ke pengadilan
dan menganggap Liga Super Indonesia sebagai sebuah penyimpangan besar. Klub ISL
sudah pasti tidak akan tinggal diam dan akan menuntut balik PSSI. Tapi
kenyataannya ISL merupakan kompetisi yang telah teruji dan lebih berkualitas
dibandingkan IPL.
Puncak
dari semua masalah PSSI adalah diadakannya kongres luar biasa untuk memilih
ketua PSSI akibat mosi tidak percaya kepada Djohar cs. Lebih dari 2/3 pemilik
sah suara PSSI menetapkan La Nyalla Matalitti sebagai ketua PSSI yang baru.
Tetapi Djohar tetap berkilah dan menganggap PSSI-nyalah yang sah, bukan PSSI La
Nyalla. Jika kita membicarakan semua kesalahan dan ‘dosa’ PSSI mungkin tak akan
habis ceritanya dan mungkin akan terus bertambah. Seharusnya PSSI menjadi
tempat naungan klub dan bukan pelaksana kompetisi yang sarat kepentingan. Untuk
itu diperlukan sikap bijaksana dari jajaran teras PSSI (yang sah menurut
Djohar) dalam menyikapi masalah dualisme kompetisi yang terjadi saat ini. Semua
pihak harus kembali pada aturan statua FIFA dan AFC. Semoga dari semua yang
telah terjadi PSSI bisa mengubah sikap dan merangkul semua pihak untuk
membangun kembali sepakbola Indonesia ke arah yang lebih baik dan bisa
berprestasi di tingkat Internasional. Ingat, PSSI bukan milik Djohar dan
kelompoknya, tapi milik masyarakat Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar