Count visitor

Rabu, 11 April 2012

Dualisme Kompetisi, Salah PSSI??


Dualisme Kompetisi, Salah PSSI??

Oleh David Murdi
Mahasiswa Fakultas Ekonomi Unand
Anggota OR Genta 2012


Kisruh atau konflik sepakbola di Indonesia tampaknya belum berakhir dan akan semakin berlanjut. PSSI sebagai induk organisasi sepakbola nasional kembali menjadi sorotan. Selaku otoritas tertinggi sepakbola Indonesia, PSSI menunjuk tanpa kongres PT LPIS (Liga Prima Indonesia Sportindo) sebagai penyelenggara liga di kasta tertinggi untuk musim 2011/2012, serta mencabut mandat PT Liga Indonesia sebagai pengelola kompetisi di tanah air. Hal ini menyebabkan kembali terjadinya perpecahan dalam sepakbola nasional yang sebelumnya sempat mereda dengan lengsernya Nurdin Halid sebagai Ketum PSSI.
Terpilihnya nahkoda baru Djohar Arifin Husein bukannya memperbaiki keadaan malah memperburuk suasana. PSSI membentuk kompetisi baru (IPL) yang diikuti oleh 24 klub, dimana enam klub diberi hadiah promosi karena dinilai dari sisi sejarah masing masing. Klub pembelot yang dimaafkan (PSM, Persibo, Persema), klub dengan fanatisme suporternya (Persebaya, PSMS), hingga klub degradasi terbaik (Bontang FC). Sungguh alasan tidak masuk akal PSSI memberi promosi terhadap enam klub tersebut. PSSI lebih cenderung mengambil keputusan bersifat politis dibanding bersikap ksatria demi perkembangan sepakbola nasional ke arah yang lebih baik.
Arogansi sikap PSSI dikhawatirkan akan menghancurkan sepakbola Indonesia apabila terus memimpin dengan sikap dan keputusan kontroversial mereka. Kekhawatiran tersebut terkait dengan sikap PSSI yang tetap ngotot menggelar Indonesia Premiere League (IPL) dibawah PT LPIS. Hal tersebut membuat terjadinya perpecahan internal klub dan menghasilkan dualisme kepengurusan. Klub yang mengalami masalah ini bukanlah klub kemarin sore, tetapi klub seperti Persija, Arema, PSMS dan Persebaya memiliki pengaruh besar dalam sejarah sepakbola Indonesia. Inilah hal yang mendasar mengapa klub berpaling dari kompetisi resmi PSSI dan memilih tetap setia kepada PT Liga Indonesia.
Klub klub yang berlaga di kompetisi illegal yang dianggap PSSI pasti punya alasan tersendiri mengapa mereka lebih memilih ISL. Alasan yang paling rasional selain pembagian saham yang tidak etis sudah jelas klub memprotes kebijakan politis PSSI yakni promosi gratis yang diperoleh klub yang seharusnya berada di kompetisi kelas dua liga Indonesia. Selain hal aneh tersebut, PSSI seharusnya juga memberi pengertian kepada klub ISL tentang klub bentukan baru yang langsung berada di kompetisi teratas yang harus merangkak dari bawah untuk mencapai kasta tertinggi seperti layaknya klub lain. Tapi kenyataannya PSSI malah memberi ancaman dan sanksi kepada klub yang ingin bermain di kompetisi terbaik terbaik tersebut.
Namun keputusan PSSI tidak ditanggapi tak ditanggapi, PT Liga Indonesia bersama klub klub terbaik tanah air tetap ngotot menyelenggarakan ISL. Lembaga yang dipimpin Djoko Driyono itu tetap menjalankan liga, meski PSSI tidak memberi izin dan mengancam akan memberi sanksi berupa degradasi dan skorsing. Pada awalnya partai muncul keraguan apakah PT Liga Indonesia sebagai penyelenggara kompetisi yang statusnya tidak diakui oleh PSSI bisa mendapatkan izin penyelenggaraan pertandingan dari pihak kepolisian. Namun, Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) sebagai badan yang mengurusi kegiatan olahraga profesional di Indonesia menganggap ISL sebagai kompetisi legal yang berjalan sesuai aturan. BOPI akhirnya mengeluarkan surat rekomendasi untuk mengurus izin bertanding ke kepolisian. Hal ini sontak membuat pengurus PSSI berang. Melalui ketua kompetisi yang kontroversial, Sihar Sitorus, menganggap klub hanya boleh mengikuti kompetisi yang berada dibawah naungan PSSI. Sihar mengatakan PSSI akan segera mengambil tindakan hukum bagi klub dan sanksi bagi perangkat pertandingan. Tak hanya itu PSSI akan menuntut PT Liga Indonesia ke pengadilan dan menganggap Liga Super Indonesia sebagai sebuah penyimpangan besar. Klub ISL sudah pasti tidak akan tinggal diam dan akan menuntut balik PSSI. Tapi kenyataannya ISL merupakan kompetisi yang telah teruji dan lebih berkualitas dibandingkan IPL.
Puncak dari semua masalah PSSI adalah diadakannya kongres luar biasa untuk memilih ketua PSSI akibat mosi tidak percaya kepada Djohar cs. Lebih dari 2/3 pemilik sah suara PSSI menetapkan La Nyalla Matalitti sebagai ketua PSSI yang baru. Tetapi Djohar tetap berkilah dan menganggap PSSI-nyalah yang sah, bukan PSSI La Nyalla. Jika kita membicarakan semua kesalahan dan ‘dosa’ PSSI mungkin tak akan habis ceritanya dan mungkin akan terus bertambah. Seharusnya PSSI menjadi tempat naungan klub dan bukan pelaksana kompetisi yang sarat kepentingan. Untuk itu diperlukan sikap bijaksana dari jajaran teras PSSI (yang sah menurut Djohar) dalam menyikapi masalah dualisme kompetisi yang terjadi saat ini. Semua pihak harus kembali pada aturan statua FIFA dan AFC. Semoga dari semua yang telah terjadi PSSI bisa mengubah sikap dan merangkul semua pihak untuk membangun kembali sepakbola Indonesia ke arah yang lebih baik dan bisa berprestasi di tingkat Internasional. Ingat, PSSI bukan milik Djohar dan kelompoknya, tapi milik masyarakat Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar