Pekat hitam memayungi permadani langit tanpa barisan gemintang. Hembusan angin malam menyelubungi diri bersama rasa sepi. Ramai orang-orang di sekitarku bertukar senyum, menyambung kata. Saling berbicara menceritakan segala buncah bahagia yang terasa, menggambarkannya pada wajah dunia. Tengadahku pada setiap wajah. Memperhatikan segala gerik dan rangkai tingkah.
Sebuah tangisan pecah di sudut meja itu. Kuperhatikan seorang gadis kecil tengah berurai air mata. Tangannya menggenggam sepotong paha ayam goreng. Tapi telunjuknya tetap mengarah pada potongan lain di tangan gadis kecil yang satunya lagi. Anak kembar. Sungguh lucu dan menggemaskan.
“Ayla, sudah nak. Itu punya Yola. Punya Ayla kan ada, sayang?” bujuk seorang wanita paruh baya berjilbab biru.
Sebuah tangisan pecah di sudut meja itu. Kuperhatikan seorang gadis kecil tengah berurai air mata. Tangannya menggenggam sepotong paha ayam goreng. Tapi telunjuknya tetap mengarah pada potongan lain di tangan gadis kecil yang satunya lagi. Anak kembar. Sungguh lucu dan menggemaskan.
“Ayla, sudah nak. Itu punya Yola. Punya Ayla kan ada, sayang?” bujuk seorang wanita paruh baya berjilbab biru.
Gadis kecil bernama Ayla masih saja merengut. Yola juga terdiam. Tak lama kemudian, diulurkannya potongan ayam gorengnya pada Ayla.
“Nih, punya Yola buat Ayla aja. Jangan nangis lagi, nanti Yola sedih,” ujarnya polos.
Ayla, si gadis berbaju kuning itu terdiam sebentar. Dikunyahnya potongan ayam gorengnya namun tiba-tiba berhenti.
“Huwaaa..”tangisnya lagi.
“Kok menangis lagi,Ayla?”tanya sang ibu.
“Ayla maunya makan sama Yola juga. Nih, satu ayamnya buat Yola,” katanya sesegukan sambil mengulurkan tangan pada kembarannya.
Yola menerimanya dan merekapun makan dengan lahap.
Seorang pria berkumis tipis dengan cuatan rambut putih di sela-sela rambut hitamnya tersenyum memandang kedua gadis kecilnya. Sejak tadi dia hanya diam memperhatikan tingkah kedua bidadari kecilnya. Kedua tangannya lalu mengelus lembut kepala gadis-gadis kecil yang sedang mengunyah ayam gorengnya itu.
“Sa..Melisa,”
Aku mendengar namaku dipanggil seseorang. Ternyata Rita,sahabatku.
“Pesanan kita udah datang dari tadi tuh. Ntar sup ayammu dingin. Dari tadi kok diam saja? Apa yang kamu pikirin?” tanyanya beruntun.
Aku menggeleng sambil tersenyum, mengatakan tanpa suara bahwa segalanya baik-baik saja. Sekilas, diarahkannya pandang ke tempat keluarga kecil yang kuperhatikan sedari tadi lalu Rita mengangguk singkat.
“Hmm, lagi homesick lagi ya?” tanyanya prihatin.
Mau tak mau aku mengangguk. Inilah sulitnya belajar hidup mandiri selama menjalani studi di perguruan tinggi yang jauh dari kampung halaman. Waktu liburan yang seharusnya kuisi dengan bercengkerama bersama keluarga di kota asalku kini harus tertunda karena kewajiban lain yang diamanahkan padaku.
“Selesai ini, kita balik ke panti asuhan lagi,ya Sa. Tadi aku udah beliin selimut tebal sama sarung bantal baru untuk anak-anak panti. Biar mereka senang dapat hadiah. Duh,rasanya senang banget melihat senyum di wajah mereka,” cerocos Rita sambil mengunyah kentang gorengnya.
Aku mengangguk.Tiap suapan yang kumakan membawaku pada kilas balik memori saat aku masih dirumah dulu.Tentang ibu yang sering berdiam di dapur, menyiapkan makanan dan camilan saat hari libur. Mengingat ayah yang terkadang membawa martabak saat pulang kerja. Mengingat adik-adik yang sering menyebalkan namun sangat kurindukan.
Teringat rumah tempat aku merasa tiap masalah ada jawabannya. Tempat orang-orang yang kucinta bernaung dan saling membagi suka dan duka. Rasanya sudah tak sabar lagi ingin mengakhiri tanggung jawab ini lalu pergi. Pergi menyongsong suatu ranah tempat segala sesak dapat ku hembus hingga tak bersisa, tempat segala cerca dan murka dapat kucuci dengan aliran keikhlasan. Tempat kucuran air mata mampu kuhentikan menetesi pelimbahan duka.
Setelah ini. Setelah bakti sosial di panti asuhan Az Zahra ini nanti digelar, aku akan memacu lari menuju kedamaian rengkuhan keluarga. Kuhadiahkan buah tangan pada ayah, ibu dan kedua adik-adikku tentang berbagai kisah yang terjadi sejak terakhir kali bertemu, termasuk betapa serunya membawakan tawa di wajah anak-anak yang tak lagi memiliki orang tua.
***
-Suhelnida Eka Putri-
Fakultas Farmasi Unand
“Nih, punya Yola buat Ayla aja. Jangan nangis lagi, nanti Yola sedih,” ujarnya polos.
Ayla, si gadis berbaju kuning itu terdiam sebentar. Dikunyahnya potongan ayam gorengnya namun tiba-tiba berhenti.
“Huwaaa..”tangisnya lagi.
“Kok menangis lagi,Ayla?”tanya sang ibu.
“Ayla maunya makan sama Yola juga. Nih, satu ayamnya buat Yola,” katanya sesegukan sambil mengulurkan tangan pada kembarannya.
Yola menerimanya dan merekapun makan dengan lahap.
Seorang pria berkumis tipis dengan cuatan rambut putih di sela-sela rambut hitamnya tersenyum memandang kedua gadis kecilnya. Sejak tadi dia hanya diam memperhatikan tingkah kedua bidadari kecilnya. Kedua tangannya lalu mengelus lembut kepala gadis-gadis kecil yang sedang mengunyah ayam gorengnya itu.
“Sa..Melisa,”
Aku mendengar namaku dipanggil seseorang. Ternyata Rita,sahabatku.
“Pesanan kita udah datang dari tadi tuh. Ntar sup ayammu dingin. Dari tadi kok diam saja? Apa yang kamu pikirin?” tanyanya beruntun.
Aku menggeleng sambil tersenyum, mengatakan tanpa suara bahwa segalanya baik-baik saja. Sekilas, diarahkannya pandang ke tempat keluarga kecil yang kuperhatikan sedari tadi lalu Rita mengangguk singkat.
“Hmm, lagi homesick lagi ya?” tanyanya prihatin.
Mau tak mau aku mengangguk. Inilah sulitnya belajar hidup mandiri selama menjalani studi di perguruan tinggi yang jauh dari kampung halaman. Waktu liburan yang seharusnya kuisi dengan bercengkerama bersama keluarga di kota asalku kini harus tertunda karena kewajiban lain yang diamanahkan padaku.
“Selesai ini, kita balik ke panti asuhan lagi,ya Sa. Tadi aku udah beliin selimut tebal sama sarung bantal baru untuk anak-anak panti. Biar mereka senang dapat hadiah. Duh,rasanya senang banget melihat senyum di wajah mereka,” cerocos Rita sambil mengunyah kentang gorengnya.
Aku mengangguk.Tiap suapan yang kumakan membawaku pada kilas balik memori saat aku masih dirumah dulu.Tentang ibu yang sering berdiam di dapur, menyiapkan makanan dan camilan saat hari libur. Mengingat ayah yang terkadang membawa martabak saat pulang kerja. Mengingat adik-adik yang sering menyebalkan namun sangat kurindukan.
Teringat rumah tempat aku merasa tiap masalah ada jawabannya. Tempat orang-orang yang kucinta bernaung dan saling membagi suka dan duka. Rasanya sudah tak sabar lagi ingin mengakhiri tanggung jawab ini lalu pergi. Pergi menyongsong suatu ranah tempat segala sesak dapat ku hembus hingga tak bersisa, tempat segala cerca dan murka dapat kucuci dengan aliran keikhlasan. Tempat kucuran air mata mampu kuhentikan menetesi pelimbahan duka.
Setelah ini. Setelah bakti sosial di panti asuhan Az Zahra ini nanti digelar, aku akan memacu lari menuju kedamaian rengkuhan keluarga. Kuhadiahkan buah tangan pada ayah, ibu dan kedua adik-adikku tentang berbagai kisah yang terjadi sejak terakhir kali bertemu, termasuk betapa serunya membawakan tawa di wajah anak-anak yang tak lagi memiliki orang tua.
***
-Suhelnida Eka Putri-
Fakultas Farmasi Unand
Tidak ada komentar:
Posting Komentar