Count visitor

Senin, 11 Juni 2012

Cerpen Asra


Persahabatanku Kandas Karena Burung
Oleh: Asra Hayati Syahrul Nova
Apalah arti sebuah nama. Itulah yang sering dikatakan oleh orang-orang. Tetapi bagiku tidak. Bagiku nama sangat berarti. Nama adalah identitas dan lambang seseorang. Nama akan dikenang dan akan menjadi sejarah dalam hidup seseorang. Jika kelakuannya baik dan disukai oleh masyarakat disekitarnya, maka akan baik namanya. Jika perilakunya buruk maka akan buruk namanya.
Aku heran dengan orang di kampungku. Mereka mudah sekali untuk mendapatkan gelar orang. contohnya Dodo dipanggil Si Gendut hanya karena berat badannya seratus kilo. Ibas juga seperti itu, ia dipanggil dengan Si Hitam karena ia memang seperti orang yang berasal dari Negro. 
Hei.. tiba-tiba aku merasa ada orang yang memukul kedua bahuku.
Apa yang kau pikirkan San? Dari tadi ku lihat kau disini. Kata Ibas sambil memperbaiki tali sepatunya yang terlepas.
Aku menatap orang-orang yang sekarang duduk di sebelahku dengan bergantian. Mereka adalah sahabatku. Kami bertiga sama, yaitu sama-sama mempunyai gelar.
Hah… Tidak. Aku tidak memikirkan apa-apa. Ayo kita pergi! Kataku sambil menarik tangan mereka.
Walaupun kita bertiga sama-sama ada gelar, tapi kami tidak pernah menjadikan gelar itu sebagai nama. Kami selalu memanggil dengan nama yang telah diberi oleh orang tua kami dari kecil.
Hei… Burung-burung. Kenapa kalian terlihat akur sekali, sedangkan kalian berbeda? Kata Asep, teman sekelasku yang selalu memakai kaca mata.
Sep… Kenapa kamu selalu memanggil kami burung? Kami bukan burung! Kami manusia sepertimu! Kata Dodo dengan emosi.
Jangan emosi dulu Si Burung Gendut. Aku memanggil kalian Burung karena memang kalian seperti burung.
Hah.. Pantas saja kau pakai kaca mata, penglihatan mu tidak bagus. Kami bisa berjalan, mempunyai anggota tubuh seperti manusia dan kami bisa bebicara. Bagaimana mungkin kami seperti burung? Sekarang Ibas yang merasa tersinggung dan ia sudah mendekati Asep seperti orang yang akan meninju.
Aku jadi bingung melihat teman-temanku yang sudah termakan emosi. Sepertinya mereka sangat tersinggung dan ingin mengajak berkelahi.
Sabar… sabar… sabar. Jangan seperti itu! Kita bisa bertanya dengan baik kepadanya. Kataku memegang tangan Ibas.
Hah.. Ini Si Burung Tonggos, juga merasa tersinggung ya? Asep tertawa seperti orang yang mengejek.
Kalian tahu kan? Di sekolah ini hanya aku yang memanggil kalian dengan embel-embel burung di depannya. Itu karena aku melihat kalian seperti burung yang dapat hidayah.
Apa maksudmu? Kali ini Dodo yang lebih emosi,
Kalian sadar tidak? Burung-burung itu identik berbaur dengan sesama jenisnya. Kalai burung pipit ia akan berbaur dengan burung pipit saja dan mereka selalu bersama. Nah, sekarang kalian juga seperti itu kalian selalu bersama yang mempunyai gelar. Tetapi…. Kata-kata Asep terhenti, ia terlihat memikirkan sesuatu.
Aku jadi berpikir, Asep pasti kehabisan kata-kata atau ia sedang memikirkan kata-kata yang bagus untuk menyenangkan hati kami. Jahatnya kau Sep! kata batinku.
Tetapi kalian orang yang mendapat hidayah karena kalian dipertemukan dengan jenis yang berbeda, kalian akur, dan selalu bersama.
Sudah jelas kenapa aku memanggil kalian Burung? Kata Asep bertanya ke arah kami dan ia langsung berlari meninggalkan kami bertiga.
Kami diam, tidak ada yang berbicara seorang pun. Kami hanyut dalam pikiran masing-masing. Tiba-tiba Ibas berbicara.
Aku tidak suka dipanggil Si Burung Hitam oleh Asep. Biarlah aku dipanggil orang tanpa ada embel-embel di depannya. Sekarang aku sudah tidak mau lagi dipanggil dengan sebutan yang jelek. Ibuku saja tidak pernah memanggil aku seperti itu. Kenapa orang lain yang harus melakukannya? Aku tidak suka bergaul sesama burung! Asep meninggalkan aku dengan Dodo yang masih bingung.
Kami berdua diam. Tidak berani berbicara apa pun. Aku bingung dengan Ibas sekarang. Kenapa ia begitu mudah untuk tersinggung dan memasukkan ke dalam hatinya. Jika aku pikir-pikir kata Asep tadi memang benar. Kami adalah burung yang dapat hidayah yang tidak mengutamakan bentuk untuk selalu bersama. Tetapi aku tidak tahu apa yang ada dalam pikiran teman yang satu itu. Tidak lama kemudian Dodo juga pergi meninggalkanku. Rasa takut muncul dalam hatiku. Mungkinkah aku dan sahabat-sahabatku ini akan seperti yang dilakukan oleh Asep? Asep selalu sendiri, ia malas bergaul dengan teman karena ia takut akan diberi gelar Si Kaca Mata.
**
Malam ini sangat dingin sekali. Di luar hujan sangat lebat tambah angin kencang. Aku jadi teringat dengan pesan ibu sebelum ia meninggal dunia dua tahun yang lalu.
Nak… Walaupun orang dan teman-temanmu memanggil namamu dengan sebutan yang seperti itu, kamu jangan marah ya. Kamu harus belajar ikhlas bahwa kamu memang seperti itu. Jangan sekali-sekali kamu melawan orang lain Nak! Ingat kamu tidak punya siapa-siapa, kepada orang-orang itu lah nantinya kamu akan meminta pertolongan jika sesuatu buruk terjadi kepadamu.
Pesan Ibu itu lah yang membuat aku bertahan dan menerimanya dengan ikhlas. Walaupun orang memanggilku dengan panggilan yang aku tidak menyukainya. Kadang ketika aku kurang mood, aku akan memarahi orang yang memangilku degan sebutan Tonggos. Tetapi malah ia tambah bersemangat. Jadi kuputuskan untuk tidak berkomentar apa-apa.
Sekarang semuanya sudah hilang, tidak ada lagi orang yang senantiasa menungguku untuk pergi ke sekolah. Kami sudah menjalani hidup masing-masing hanya karena tidak suka dipanggil Burung oleh Asep Si Kaca Mata. Persahabatanku kandas karena burung.
Sekarang bagiku nama hanya tinggal nama. Jarang sekali aku menemukan orang yang memanggilku dengan sebutan Hasan. Hasan adalah nama asliku, nama yang diberi oleh kedua orangtuaku ketika aku masih bayi. Sekarang mereka sudah tidak ada di sampingku. Aku harus membuktikan bahwa perilakuku sama dengan namaku walaupun orang lain tidak memanggilku dengan nama asliku. 
Penulis Jurusan Sastra Indonesia, Unand


Tidak ada komentar:

Posting Komentar