Persahabatanku Kandas Karena Burung
Oleh: Asra Hayati Syahrul Nova
Apalah arti sebuah nama.
Itulah yang sering dikatakan oleh orang-orang. Tetapi bagiku tidak. Bagiku nama
sangat berarti. Nama adalah identitas dan lambang seseorang. Nama akan dikenang
dan akan menjadi sejarah dalam hidup seseorang. Jika kelakuannya baik dan
disukai oleh masyarakat disekitarnya, maka akan baik namanya. Jika perilakunya
buruk maka akan buruk namanya.
Aku
heran dengan orang di kampungku. Mereka mudah sekali untuk mendapatkan gelar
orang. contohnya Dodo dipanggil Si Gendut hanya karena berat badannya seratus
kilo. Ibas juga seperti itu, ia dipanggil dengan Si Hitam karena ia memang seperti
orang yang berasal dari Negro.
Hei..
tiba-tiba aku merasa ada orang yang memukul kedua bahuku.
Apa yang kau pikirkan
San? Dari tadi ku lihat kau disini. Kata Ibas sambil
memperbaiki tali sepatunya yang terlepas.
Aku
menatap orang-orang yang sekarang duduk di sebelahku dengan bergantian. Mereka
adalah sahabatku. Kami bertiga sama, yaitu sama-sama mempunyai gelar.
Hah… Tidak. Aku tidak
memikirkan apa-apa. Ayo kita pergi! Kataku sambil menarik
tangan mereka.
Walaupun
kita bertiga sama-sama ada gelar, tapi kami tidak pernah menjadikan gelar itu
sebagai nama. Kami selalu memanggil dengan nama yang telah diberi oleh orang
tua kami dari kecil.
Hei… Burung-burung.
Kenapa kalian terlihat akur sekali, sedangkan kalian berbeda?
Kata Asep, teman sekelasku yang selalu memakai kaca mata.
Sep… Kenapa kamu selalu
memanggil kami burung? Kami bukan burung! Kami manusia sepertimu!
Kata Dodo dengan emosi.
Jangan emosi dulu Si
Burung Gendut. Aku memanggil kalian Burung karena memang kalian seperti burung.
Hah.. Pantas saja kau
pakai kaca mata, penglihatan mu tidak bagus. Kami bisa berjalan, mempunyai
anggota tubuh seperti manusia dan kami bisa bebicara. Bagaimana mungkin kami
seperti burung? Sekarang Ibas yang merasa tersinggung
dan ia sudah mendekati Asep seperti orang yang akan meninju.
Aku
jadi bingung melihat teman-temanku yang sudah termakan emosi. Sepertinya mereka
sangat tersinggung dan ingin mengajak berkelahi.
Sabar… sabar… sabar.
Jangan seperti itu! Kita bisa bertanya dengan baik kepadanya. Kataku
memegang tangan Ibas.
Hah.. Ini Si Burung
Tonggos, juga merasa tersinggung ya? Asep tertawa seperti
orang yang mengejek.
Kalian tahu kan? Di
sekolah ini hanya aku yang memanggil kalian dengan embel-embel burung di
depannya. Itu karena aku melihat kalian seperti burung yang dapat hidayah.
Apa maksudmu?
Kali ini Dodo yang lebih emosi,
Kalian sadar tidak? Burung-burung
itu identik berbaur dengan sesama jenisnya. Kalai burung pipit ia akan berbaur
dengan burung pipit saja dan mereka selalu bersama. Nah, sekarang kalian juga
seperti itu kalian selalu bersama yang mempunyai gelar. Tetapi…. Kata-kata
Asep terhenti, ia terlihat memikirkan sesuatu.
Aku
jadi berpikir, Asep pasti kehabisan kata-kata atau ia sedang memikirkan
kata-kata yang bagus untuk menyenangkan hati kami. Jahatnya kau Sep! kata
batinku.
Tetapi kalian orang
yang mendapat hidayah karena kalian dipertemukan dengan jenis yang berbeda,
kalian akur, dan selalu bersama.
Sudah jelas kenapa aku
memanggil kalian Burung? Kata Asep bertanya ke arah kami dan
ia langsung berlari meninggalkan kami bertiga.
Kami
diam, tidak ada yang berbicara seorang pun. Kami hanyut dalam pikiran
masing-masing. Tiba-tiba Ibas berbicara.
Aku tidak suka
dipanggil Si Burung Hitam oleh Asep. Biarlah aku dipanggil orang tanpa ada
embel-embel di depannya. Sekarang aku sudah tidak mau lagi dipanggil dengan
sebutan yang jelek. Ibuku saja tidak pernah memanggil aku seperti itu. Kenapa
orang lain yang harus melakukannya? Aku tidak suka bergaul sesama burung!
Asep meninggalkan aku dengan Dodo yang masih bingung.
Kami
berdua diam. Tidak berani berbicara apa pun. Aku bingung dengan Ibas sekarang.
Kenapa ia begitu mudah untuk tersinggung dan memasukkan ke dalam hatinya. Jika
aku pikir-pikir kata Asep tadi memang benar. Kami adalah burung yang dapat
hidayah yang tidak mengutamakan bentuk untuk selalu bersama. Tetapi aku tidak tahu
apa yang ada dalam pikiran teman yang satu itu. Tidak lama kemudian Dodo juga
pergi meninggalkanku. Rasa takut muncul dalam hatiku. Mungkinkah aku dan
sahabat-sahabatku ini akan seperti yang dilakukan oleh Asep? Asep selalu
sendiri, ia malas bergaul dengan teman karena ia takut akan diberi gelar Si
Kaca Mata.
**
Malam
ini sangat dingin sekali. Di luar hujan sangat lebat tambah angin kencang. Aku
jadi teringat dengan pesan ibu sebelum ia meninggal dunia dua tahun yang lalu.
Nak… Walaupun orang dan
teman-temanmu memanggil namamu dengan sebutan yang seperti itu, kamu jangan
marah ya. Kamu harus belajar ikhlas bahwa kamu memang seperti itu. Jangan
sekali-sekali kamu melawan orang lain Nak! Ingat kamu tidak punya siapa-siapa,
kepada orang-orang itu lah nantinya kamu akan meminta pertolongan jika sesuatu
buruk terjadi kepadamu.
Pesan
Ibu itu lah yang membuat aku bertahan dan menerimanya dengan ikhlas. Walaupun
orang memanggilku dengan panggilan yang aku tidak menyukainya. Kadang ketika
aku kurang mood, aku akan memarahi orang
yang memangilku degan sebutan Tonggos.
Tetapi malah ia tambah bersemangat. Jadi kuputuskan untuk tidak berkomentar
apa-apa.
Sekarang
semuanya sudah hilang, tidak ada lagi orang yang senantiasa menungguku untuk
pergi ke sekolah. Kami sudah menjalani hidup masing-masing hanya karena tidak
suka dipanggil Burung oleh Asep Si Kaca Mata. Persahabatanku kandas karena
burung.
Sekarang
bagiku nama hanya tinggal nama. Jarang sekali aku menemukan orang yang
memanggilku dengan sebutan Hasan. Hasan adalah nama asliku, nama yang diberi
oleh kedua orangtuaku ketika aku masih bayi. Sekarang mereka sudah tidak ada di
sampingku. Aku harus membuktikan bahwa perilakuku sama dengan namaku walaupun
orang lain tidak memanggilku dengan nama asliku.
Penulis
Jurusan Sastra Indonesia, Unand
Tidak ada komentar:
Posting Komentar