Count visitor

Sabtu, 09 Juni 2012

Kaktus dan Mawar

     Aku selalu bermimpi,suatu hari nanti,aku bisa jadi bagian dari sesuatu.Menjadi seseorang yang dibutuhkan kontribusinya.Bukan hanya sekedar menjadi biasa dalam dunia yang luar biasa ini tapi menjadi luar biasa dalam cara yang biasa.Namun,logika dan hati seringkali berseberangan.Pikiranku mantap memperjuangkan asa,tapi semangatku digerus keputusasaan hati.Seperti bunga yang layu sebelum mekar.Kekejaman prasangka buruk selalu berhasil meremukkan keyakinanku.
    Sudah berulangkali aku merasakan perasaan seperti ini.Kalah sebelum bertanding.dan “dia” selalu bisa melakukannya,bahkan tanpa sepatah katapun.Hanya dengan melihatnya beredar disekelilingku,mataku silau dengan kilau prestasinya hingga kekuatan   untuk berjuang seolah hilang.Dia sangat beruntung.Wajahnya cantik,kepintarannya di atas rata-rata.Semua orang suka padanya.Dia selalu jadi nomor satu.Sedangkan aku,demi meraih tempat kedua,harus bersusah payah.Kuakui,dia nyaris sempurna dan kadang aku terintimidasi oleh pikiran yang kubuat sendiri.Kami pun  jarang berkomunikasi.Aku termasuk tipikal gadis  pemalu yang lebih suka jadi pendengar yang baik sehingga begitu sulit bagiku untuk memulai suatu percakapan.Aku selalu segan bertanya apapun padanya,sebagian karena sifat pemaluku itu,dan sebagian lagi dalam komposisi yang lebih besar karena aku selalu mendoktrin diriku sendiri bahwa kemilauan dirinya memerihkan aku,menusuki ulu hati karena aku akan teringat betapa sulitnya mendapat sesuatu dan begitu mudahnya gagal.Entahlah kenapa seperti ituAku tak pernah tahu sebabnya.
        Namanya Dian Rosalia.coba tanyakan padanya lomba apa saja yang sudah pernah diikutinya dan dengarkan hasilnya.Dia selalu sempurna pada tiap perlombaan yang digelutinya(sepengetahuanku).Misalnya,waktu kelas 1 SMA,kami sama-sama ikut Olimpiade Biologi tingkat Kota.Aku hanya mendapat peringkat tiga,sedangkan dia mendapat peringkat pertama.Padahal,aku dipercaya Bu Yuli,guru biologi kami dan diberitahu bahwa aku menjadi salah satu peserta lomba seminggu lebih cepat daripada Dian.Kala itu,Dian sedang mempersiapkan karya tulis yang akan disertakannya dalam lomba bertajuk Bahari yang Asri.Ternyata,dia mampu menyelesaikannya lebih cepat dari target pak Anwar,guru pembimbingnya.Akhirnya,karena kebetulan sekali saat itu Riri terkena tipus,padahal dialah calon peserta Olimpiade Biologi lainnya,Dian Rosalia diminta ikut.Waktunya mempersiapkan diri hanya sekitar seminggu.
      Jujur,saat itu aku shock sekali.Aku hampir putus asa dan batinku sama sekali tak terimaAku tak pernah mencoba untuk rela.Ikhlas pada apa yang tak bisa kugapai.Aku tak pernah percaya kata pepatah:kegagalan adalah sukses yang tertunda,karena dalam prakteknya,aku selalu gagal.Penundaan kesuksesan itu tak berlaku bagiku.Mungkin kata yang lebih cocok adalah kegagalan itu ketidaksuksesan yang terduga bagiku.
      Tak hanya sampai disitu,nama Dian harum sampai ke tingkat nasional karena dia mampu menembus persaingan tingkat provinsi dan regional.Meskipun hanya menjadi peserta di tingkat nasional tapi itu sebuah prestise yang tinggi terhadap eksistensinya dalam bidang pendidikan.
        Kini,sejak  resmi memegang jabatan sebagai siswi tahun ketiga di SMA Gurindam,pikiranku tak lagi terfokus pada segala macam kegiatan perlombaan.Ambisi untuk menang mulai berkurang kuantitasnya.Sekarang,bagiku yang terpenting hanyalah lulus dengan nilai yang memuaskan.Aku lebih memilih menyibukkan diri mempersiapkan materi UN daripada memikirkan penyebab ketidakberuntunganku selama ini sehingga aku merasa hampir selalu gagal di tiap lombaku.
      Seperti biasanya,tiap  Sabtu pagi seperti hari ini,ada agenda unik di sekolahku.Semacam tradisi berbalas pantun yang mengumpulkan seluruh siswa SMA Gurindam di lapangan sekolah.Kegiatan ini akan diawali oleh sederetan pantun spontan berisi nasihat- nasihat dalam konteks jenaka dari Atuk Yusran,guru Kesenian berdarah Melayu asli.Kemudian,masing-masing kelas yang seminggu sebelumnya sudah ditunjuk sebagai penanggung jawab untuk mengisi acara akan tampil dan saling berbalas pantun.Biasanya terdapat tema tertentu tiap minggu.Hari ini temanya pantun sains,suatu terobosan baru dalam hal perpantunan yang digagas oleh salah seorang guruku,Pak Daniel.
       Aku sudah pernah mewakili kelasku dalam kegiatan ini,baik saat kelas X maupun kelas XI.Menurutku,tantangan terbesarnya adalah kecepatan dalam pemilihan diksi dan ketepatan dalam menentukan jawaban yang ringkas namun mampu mencakup keseluruhan pertanyaan yang diajukan pihak lawan dalam rima teratur.Sangat menyenangkan.Atuk Yusran pernah mengatakan dengan nada bergurau,bahwa kemampuan seseorang dalam berpantun sedikit banyak mampu menginterpretasikan intelektualitas yang dimilikinya.Aku tak pernah mengetahui hal itu benar atau tidak tapi aku menyukai pernyataannya itu.Seperti pujian khusus bagiku karena dalam hal berpantun,tanpa bermaksud membanggakan diri sendiri, bisa dikatakan bahwa aku lebih ahli dibandingkan Dian.SMA gurindam menjadi perintis penyelamatan budaya berpantun yang semakin lama semakin kurang peminatnya dari kubu kawula muda kota Tanjungpinang.Program ini juga menjadi salah satu alternatif untuk menumbuhkan kegemaran berpantun seiring dengan motto kota kami,The City of Gurindam and The Land of Pantun.
  Bersama Bunda ke Argentina
  Tak sangka jumpa si orang buta
  Selaput jala atau retina
  Reseptor cahaya pada mata
     Terdengar sayup-sayup suara Mira dari kelas x.3 menyampaikan pantun yang dibuatnya.Suaranya agak bergetar,seperti orang yang menahan tangis,tapi wajahya yang dibingkai kaca mata mika masih bisa tersenyum kikuk.Meskipun para siswa diminta membuat pantun secara spontan,tak bisa dipungkiri bahwa hal seperti itu masih sulit bagi kami.Umumnya,beberapa pantun sudah dipersiapkan dari rumah.
  Selanjutnya,giliran Arbei dari kelas XI IPA 3 unjuk kebolehan.masih dalam tema biologi.
Datang melancong dekat museum
Banyak dipajang lukisan dan patung
Cairan limfa dalam perikardium
Tahan gesekan kontraksi jantung
  Suasana berpantun semakin riuh seiring dengan mulai menyengatnya pancaran sinar mentari pagi.Setelah sekitar 30 menit acara berlangsung,Atuk Yusran menutup kegiatan pagi dengan celoteh khas Melayunya,diiringi gemuruh tawa dari seluruh siswa yang masih berkumpul di lapangan.
    Jam pelajaran pertama dan kedua diisi oleh Bu Windu,guru kimia yang baik hati dan sabar dalam mengajar.Di kelas XII ini,tentu saja beban beliau dalam mengajar menjadi lebih besar.Selain mengajarkan pelajaran kelas XII yang semakin rumit,beliau juga berkewajiban melatih dan mengasah ingatan siswanya terhadap pelajaran – pelajaran kimia kelas X dan XI.Beliau selalu menyediakan 30 menit sebelum jam pelajaran berakhir untuk melatih para siswanya mengerjakan prediksi soal –soal UN kimia.
   “Nah,kalian baca lagi ya tentang aplikasi hukum Raoult pada larutan elektrolit dan non elektrolit.Minggu depan kita ujian,”ujar bu Windu
  “Yaah..buu..”terdengar keluhan dari seisi kelas.Termasuk aku.Kepalaku terasa pecah,bingung membagi waktu dan prioritas belajar.Ini semua karena jadwal UN dipercepat sehingga waktu untuk mempersiapkan diri semakin berkurang.
    Senyum khas keibuan beliau terkembang lalu dipompanya lagi semangat kami yang kendur melalui petuah-petuah penuh kasih sayang. Aku sangat bersyukur diberi kesempatan untuk mengenal dan memperoleh ilmu dari beliau yang sejak dulu selalu memberi kepercayaan padaku dalam hal eksplorasi minat dan bakat dengan cara mengikutsertakanku dalam beberapa perlombaan.Terkadang,aku merasa putus asa karena selalu mengecewakan beliau dengan prestasiku yang biasa – biasa saja.
   “Baik,sekarang buka LKS prediksi UN halaman 10 tentang Kesetimbangan Kimia.Masing-masing mengerjakan soal nomor 1 sampai 5.Ibu beri waktu 15 menit,”ujar Bu Windu
   Kemudian,beliau meminta Yusuf,Andri dan Putra untuk mengerjakan soal tersebut di papan tulis.Awalnya mereka tampak lancar menulis sesuatu di papan tulis.Ternyata hanya mencatat kembali soal.
   Bu Windu melirikku sekilas.Aku tahu maksudnya.Beliau memintaku mengulas kembali prinsip – prinsip dasar kesetimbangan kimia.Aku pun mengiyakan saat beliau menyuarakan permintaannya itu.Untuk memudahkan teman- teman,aku membuat semacam pohon ingatan dengan harapan mereka lebih mudah mengingatnya. Memang,inilah salah satu keunikan lain dari Bu Windu.Beliau biasanya meminta tiga besar juara kelas untuk membantu mengajari teman-teman.Menurut beliau,siswa yang kesulitan memahami pelajaran biasanya menjadi lebih mudah mengerti bila diajari oleh teman sebayanya karena penjelasan dari teman lebih sederhana dibandingkan penjelasan seorang guru yang usianya sudah terpaut puluhan tahun dari peserta didiknya.Awalnya aku sangat canggung berdiri di depan kelas,menjadi “guru” bagi teman-temanku.Namun,lama kelamaan mentalku pun terlatih dan semua dapat berjalan dengan lancar.
   Di akhir penjelasanku,teman-teman tampak ber-ooh ria.Sebelumnya aku sempat iseng memberi pertanyaan pada teman-teman yang tampak kurang fokus.Berbekal pohon ingatan yang kubuat,ketiga temanku yang tadi ditunjuk Bu Windu bisa menyelesaikan soal dengan baik.Sesungguhnya mereka bukannya bodoh,hanya kurang semangat belajar saja karena sekali saja diajari pasti mudah mengerti.
     Inilah salah satu hal yang kusukai.Mengajari teman-teman materi pelajaran kelas X dan XI semampuku.Selain karena apapun yang kubagi pada teman-teman akan semakin kuingat dalam pikiran,ini seolah menjadi pengakuan kalau aku memang dibutuhkan,bahwa aku menjadi bagian penting di kelas.Pernah sekali waktu,aku kurang memahami suatu materi.Ketika mengajarkannya di depan kelas dengan dibantu bu Windu,aku menjadi mengerti.Memang kalau diceritakan seperti ini,apa yang kulakukan terdengar mudah,tapi jangan salah.Beberapa kali aku juga pernah malu sendiri karena lupa konsep dasar yang sederhana sehingga soal termudah sekalipun menjadi sulit kukerjakan.Dalam hal ini,aku boleh berbangga hati karena Dian Rosalia kurang mahir dalam mentransfer ilmunya.Seringkali teman-teman yang diajari olehnya memintaku untuk mengajari ulang karena kurang mengerti dengan penjelasannya.
      Saat istirahat siang,aku bersama Tia,sahabatku makan soto ayam di kantin sambil berbincang-bincang melepas ketegangan pasca belajar.
       “Senangnya jadi kamu,Mel.Ilmumu tak hanya untuk diri sendiri tapi bisa juga dapat pahala mengajari teman.Makin berlipat deh ilmu yang kamu dapatkan jadinya,”kata Tia
    “Alhamdulillah kalau memang aku bisa berguna buat orang lain,Ti”ujarku sambil menikmati irisan daging ayam dari sotoku.
      “O ya,waktu kelas XI kamu ikut lomba resensi buku kan?Itu lho yang dari perpustakaan daerah.Apa judulnya?”tanya Tia antusias sambil menambah saus sambal ke sotonya yang sudah berwarna merah.
       “Perkembangan Sekolah di Negeri Segantang Lada karya Wan Tarhusin, Ti.Aku sih nggak ngarep menang,soalnya Dian kan juga ikut lomba yang sama”kataku pesimis
     “Kamu tuh kebiasaan ya suka nggak pede.Kamu tuh punya sesuatu yang tak dimiliki oleh Dian.Kalau boleh aku membuat perumpamaan, kamu tuh kayak kaktus dan Dian kayak mawar.Sama-sama punya cara sendiri untuk bertahan hidup.Sama-sama punya duri,cuma aplikasinya saja yang berbeda.Meskipun kaktus tak menarik tapi dia mampu menaklukkan keganasan panasnya padang pasir.Tak ada bedanya dengan mawar yang meskipun memang elok rupanya tapi punya duri biar tetap hidup.”
    “Duh,puitis banget deh sohibku ini,”candaku
  “Aku serius Mel.Meskipun banyak yang tak memperhatikan kehadiran sang kaktus,aku yakin padang pasir mencintainya karena sudah mau menemaninya bersama terik matahari.Hanya saja,seringkali kaktus tak sadar sebesar apa arti kehadirannya.”
    Aku sedikit terhenyak mendengarnya.
  “Mungkin selama ini kamu terlalu ingin menang dari Dian sehingga tanpa sadar ,kamu mulai meremehkan diri sendiri,membangun tembok yang terdoktrin tak kan bisa kau panjati.Suatu lomba tak pernah bisa merepresentasikan kemampuan seseorang,Mel.Anggap saja kamu kurang beruntung.Percaya dirilah..”tambahnya berapi-api atau aku curiga semangatnya dalam berbicara dikarenakan pedasnya soto ayam yang baru saja dihabiskannya.
  “Makasih ya Ti,ucapku tulus sambil memandangi kagum sahabatku itu.Seorang pribadi yang optimis dan penuh semangat meskipun masalah hidupnya juga sulit.
    Disepanjang akhir pekan,aku kembali merenungi perkataan Tia saat di kantin.Mulai kusadari aku sering mengatur pikiranku dengan hal-hal yang kurang positif.Jarang bersyukur atas nikmatNya yang telah banyak kuterima.Pengalaman-pengalaman mengikuti berbagai lomba,teman-teman yang baik dan keluarga dengan kehangatan kasih yang begitu besar.
   “Ma,mama bangga nggak punya Amel sebagai anak?” tanyaku pada mama saat sedang membantu beliau memasak.
Kening mama agak berkerut,kegiatannya mengiris sayur terhenti sejenak.Meskipun bingung denga pertanyaanku yang tiba-tiba dan aneh,mama tetap tersenyum sambil menjawab:
   “Pasti dong sayang,kamu bagai matahari dalam dunia mama”
   “Meskipun Amel nggak bisa dapatin banyak piala, ma?
  “Ya ampun sayang,bagi mama meskipun secara fisik tak ada piala berjejer di ruang tamu kita,tapi sudah banyak piala darimu di hati mama.Mungkin berat bagi Amel menerima kekalahan padahal Amel sudah merasa menguras kerja keras terbaik tapi kalauAmel mau mencoba merelakan semua yang terjadi dan merasa seolah apa yang kamu inginkan sudah Amel dapatkan,hatimu otomatis akan puas,Nak,”ujar mama lembut
   Memang benar kata mama dan Tia.Aku harus ikhlaskan semua persaingan sepihakku dengan Dian.Kami pasti mempunyai cara tersendiri untuk menjadi bagian sesuatu,Kami punya kharisma masing-masing yang tak bisa dibandingkan mana yang lebih besar untuk membahagiakan orang-orang disekitar kami.
   Hari itu,untuk pertama kalinya aku lega luar biasa.
Keesokan harinya,setelah upacara bendera tiap Senin pagi,aku sama sekali tak menyangka akan menerima piagam penghargaan sebagai pemenang kedua lomba resensi buku.Dian tak berhasil kali ini.Sepintas,teringat lagi sikap dan perkataan bernada meremehkan dari Yoanna,sahabat Dian ketika mengetahui aku mengikuti lomba yang sama dengan sahabatnya dan secara tak sengaja kami bertemu di rental komputer beberapa hari sebelum pengiriman karya resensi.Namun,aku sudah mengikhlaskannya.
    Dalam kerubungan teman-teman yang berebut mengucapkan selamat,aku merasa sangat senang dan lega.Mungkin memang benar bahwa bukannya aku tak mampu menang,tapi semua hanya masalah waktu.
    Tia hanya tersenyum penuh arti dari tempat duduk kami.Ada waktu khusus untuknya memberi selamat padaku.Saat teman-teman ke mbali ke tempat duduknya masing-masing,Dian mendatangi dan menyalamiku dengan tulus.
   Syukur.satu kata itu mewakili apa yang kurasakan saat ini.Ikhlas.satu kata itu yang kubutuhkan dalam menjalani setiap kegiatanku.Percaya diri.kata terpenting yang perlu kuresapi setelah bekerja keras beriring doa terhadap sesuatu.Dan cinta,baik dari keluarga,sahabat dan guru-guru,itulah kekuatan terbesarku.Merekalah padang pasir yang bersedia mencintai “kaktus” sepertiku yang selalu saja merepotkan dengan keluh kesah.


-Suhelnida Eka Putri-
Fakultas Farmasi Unand

Tidak ada komentar:

Posting Komentar