Jangan Pedulikan Hasil, Setialah Pada Proses
oleh :Amelia Putri
oleh :Amelia Putri
Menulis sebuah kisah tentang seseorang yang
berjasa dalam hidup mungkin tak akan rampung sampai akhir hayat. Namun tangan
ini mencoba melukiskan kehidupan beliau yang patut diteladani oleh banyak
orang. Seorang ulama, seorang saudagar dan seorang ayah. Meski tak ada ikatan
darah antara aku dan beliau, namun jasa beliau begitu besar terhadap kami yang
ditinggalkan. Seolah-olah tak ada yang bisa menggantikan posisi beliau.
Udara
dingin subuh itu membuatku menggigil dan menjadi malas untuk bangun, lalu
berniat melanjutkan tidur. Hingga terlelap sampai pagi menjelang, tak ada yang
bisa disalahkan ketika aku terlambat ke sekolah. Semua sudah mencoba
membangunkan, tapi aku tetap melanjutkan bisikan jelek si permadani kapuk itu
untuk menyambung mimpi yang terhenti.
Berbeda
sekali dengan beliau, suhu dingin merasuk ke pori kulit ditambah lagi siraman
air wudhu yang terasa seperti jarum-jarum es menusuk lapisan endodermis kulit
tak membuat beliau merasa terbelenggu untuk beraktivitas. Tetap enerjik di usia
yang semakin senja, melangkahkan kaki menuju surau melaksanakan profesi sebagai
ulama untuk mengumandangkan adzan. Di pagi buta itu beliau berjalan ke surau
kadang-kadang ditemani sang istri. Selepas shalat berjamaah di sana, beliaupun menjalani profesi
berikutnya sebagai seorang saudagar kelontong
di sebuah pasar inpres.
Seperti
kata pepatah arab satu ini, “carilah kesuksesan dunia seolah-olah dirimu akan
hidup selamanya, dan beribadahlah kamu seolah-olah akan mati esok hari”.
Sepertinya hal itu memang sudah mendarah daging pada beliau karena semenjak
remaja sudah merintis usaha mulai dari warkop,
bisnis kopra, jual beli rempah-rempah dan kemudian menjadi seorang saudagar kelontong sampai akhir hayatnya. Kata
bijak satu ini mungkin bisa menggambarkan bagaimana kehidupan beliau, “jangan
pikirkan hasil,setialah pada proses”.
Sebagai urang sumando di desa ini, beliau
merupakan contoh sumando yang bijak dan sederhana. Bagaimana tidak, sebut saja
ketika makan. Beliau tidak akan duduk di kursi makan dan tidak mengunakan
sendok. Alasannya sederhana saja, karena menurut beliau Rasulullah makannya
juga duduk di lantai. Mengenai sendok makan, nasi yang disuap pakai tangan
masuk ke mulut akan lebih enak dimakan ketimbang nasi yang disuap pakai sendok.
Memang betul analisa beliau, secara ilmiahnya nasi yang disuap dengan tangan
akan lebih mudah dicerna dibanding perantara besi pada sendok. Itu belum
seberapa, setelah membuka toko kelontongnya
beliau akan pergi ke ladang “untuk sekedar mengeluarkan keringat” katanya.
Meski sudah di usia senja tetapi beliau tetap kuat untuk pergi ke ladang dengan
sepeda.
Sebagai
seorang ulama, beliau disegani di kalangan masyarakat. Setiap hari Jum’at
beliau selalu melaksanakan shalat di masjid negeri asalnya. Bahkan akhir-akhir
ini beliau berniat mendirikan sebuah mushalla di samping rumah orang tuanya.
Sangat disayangkan impiannya untuk mendirikan mushalla itu tertunda karena beliau
telah dahulu pergi memenuhi panggilan Illahi. Ya, beliau telah tiada dan kami
merasa sangat kehilangan.
Seseorang
yang ketika ada masalah selalu datang menyelesaikan perkara. Seseorang yang sering
dimintai nasehat ketika ada yang mengadu mengenai problema yang dialami. Seseorang
yang akan diam disaat yang lain marah. Seseorang yang telah berjasa memberiku
inspirasi dalam kesederhanaanya. Beliau yang tetap setia menjalani profesi
sebagai seorang pengusaha yang tidak memiliki keturunan selain kami anak-anak
yang beliau didik, beliau ajarkan menjadi orang yang tidak pernah putus asa
dalam berusaha dan selalu ingat akan
Ar-Rahman Sang Pemberi rezeki supaya tidak pernah berlaku sombong dalam
kemewahan. Tak bisa dipungkiri beliau telah menempati satu ruang di hatiku
sebagai seorang yang bisa kusebut “ayah”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar