Count visitor

Sabtu, 16 Juni 2012

Refleksi


Jangan Pedulikan Hasil, Setialah Pada Proses
oleh :Amelia Putri
          Menulis sebuah kisah tentang seseorang yang berjasa dalam hidup mungkin tak akan rampung sampai akhir hayat. Namun tangan ini mencoba melukiskan kehidupan beliau yang patut diteladani oleh banyak orang. Seorang ulama, seorang saudagar dan seorang ayah. Meski tak ada ikatan darah antara aku dan beliau, namun jasa beliau begitu besar terhadap kami yang ditinggalkan. Seolah-olah tak ada yang bisa menggantikan posisi beliau.
            Udara dingin subuh itu membuatku menggigil dan menjadi malas untuk bangun, lalu berniat melanjutkan tidur. Hingga terlelap sampai pagi menjelang, tak ada yang bisa disalahkan ketika aku terlambat ke sekolah. Semua sudah mencoba membangunkan, tapi aku tetap melanjutkan bisikan jelek si permadani kapuk itu untuk menyambung mimpi yang terhenti.
            Berbeda sekali dengan beliau, suhu dingin merasuk ke pori kulit ditambah lagi siraman air wudhu yang terasa seperti jarum-jarum es menusuk lapisan endodermis kulit tak membuat beliau merasa terbelenggu untuk beraktivitas. Tetap enerjik di usia yang semakin senja, melangkahkan kaki menuju surau melaksanakan profesi sebagai ulama untuk mengumandangkan adzan. Di pagi buta itu beliau berjalan ke surau kadang-kadang ditemani sang istri. Selepas shalat berjamaah  di sana, beliaupun menjalani profesi berikutnya sebagai seorang saudagar kelontong di sebuah pasar inpres.
            Seperti kata pepatah arab satu ini, “carilah kesuksesan dunia seolah-olah dirimu akan hidup selamanya, dan beribadahlah kamu seolah-olah akan mati esok hari”. Sepertinya hal itu memang sudah mendarah daging pada beliau karena semenjak remaja sudah merintis usaha mulai dari warkop, bisnis kopra, jual beli rempah-rempah dan kemudian menjadi seorang saudagar kelontong sampai akhir hayatnya. Kata bijak satu ini mungkin bisa menggambarkan bagaimana kehidupan beliau, “jangan pikirkan hasil,setialah pada proses”.
            Sebagai urang sumando di desa ini, beliau merupakan contoh sumando yang bijak dan sederhana. Bagaimana tidak, sebut saja ketika makan. Beliau tidak akan duduk di kursi makan dan tidak mengunakan sendok. Alasannya sederhana saja, karena menurut beliau Rasulullah makannya juga duduk di lantai. Mengenai sendok makan, nasi yang disuap pakai tangan masuk ke mulut akan lebih enak dimakan ketimbang nasi yang disuap pakai sendok. Memang betul analisa beliau, secara ilmiahnya nasi yang disuap dengan tangan akan lebih mudah dicerna dibanding perantara besi pada sendok. Itu belum seberapa, setelah membuka toko kelontongnya beliau akan pergi ke ladang “untuk sekedar mengeluarkan keringat” katanya. Meski sudah di usia senja tetapi beliau tetap kuat untuk pergi ke ladang dengan sepeda. 
            Sebagai seorang ulama, beliau disegani di kalangan masyarakat. Setiap hari Jum’at beliau selalu melaksanakan shalat di masjid negeri asalnya. Bahkan akhir-akhir ini beliau berniat mendirikan sebuah mushalla di samping rumah orang tuanya. Sangat disayangkan impiannya untuk mendirikan mushalla itu tertunda karena beliau telah dahulu pergi memenuhi panggilan Illahi. Ya, beliau telah tiada dan kami merasa sangat kehilangan.
            Seseorang yang ketika ada masalah selalu datang menyelesaikan perkara. Seseorang yang sering dimintai nasehat ketika ada yang mengadu mengenai problema yang dialami. Seseorang yang akan diam disaat yang lain marah. Seseorang yang telah berjasa memberiku inspirasi dalam kesederhanaanya. Beliau yang tetap setia menjalani profesi sebagai seorang pengusaha yang tidak memiliki keturunan selain kami anak-anak yang beliau didik, beliau ajarkan menjadi orang yang tidak pernah putus asa dalam berusaha dan selalu ingat akan Ar-Rahman Sang Pemberi rezeki supaya tidak pernah berlaku sombong dalam kemewahan. Tak bisa dipungkiri beliau telah menempati satu ruang di hatiku sebagai seorang yang bisa kusebut “ayah”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar