Peralihan pelayanan kefarmasian dari drug oriented menjadi patient oriented mulai menegaskan eksistensinya sejak diberlakukan Peraturan Pemerintah No.51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian. Kini, farmasis dituntut mampu memberikan konsultasi obat kepada pasien sehingga proses pengobatan yang dilakukan berlangsung secara rasional, tepat, aman dan efektif. Regulasi ini juga bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi pasien yang menjalani terapi obat agar kesalahan dalam peresepan obat maupun penggunaan obat dapat diminimalisir. Namun, perubahan paradigma tentang seorang apoteker yang dulu hanya dikenal sebagai peracik obat “di belakang layar “ menjadi seorang konsultan terapi yang secara langsung bertatap muka dengan pasien masih sulit untuk diwujudkan. Meskipun peraturan ini telah diberlakukan selama hampir 3 tahun, realisasi peran farmasis yang berorientasi pada pasien belum menunjukkan perkembangan yang signifikan.
Pengubahan citra apoteker sebagai mitra dokter dapat berlangsung lebih cepat bila para mahasiswa farmasi sejak dini telah dibekali kecakapan untuk berkomunikasi dengan baik. Pelatihan dan magang di apotek atau rumah sakit memiliki peluang yang cukup berprospek dalam mengembangkan keterampilan berbicara mahasiswa farmasi ,terutama sebagai media pengenalan lingkungan kesehatan yang nantinya akan dihadapi para mahasiswa tersebut setelah menyelesaikan pendidikannya. Bukan hanya mampu berkomunikasi dengan pasien ,tapi magang di apotek ini juga dapat menjadi sarana silaturahmi antar tenaga kesehatan sehingga dokter , apoteker , asisten apoteker , perawat serta praktisi kesehatan lain dapat saling bersinergi untuk memaksimalkan kerja sama demi mencapai peningkatan kualitas kesehatan.
Kemampuan bersosialisasi dalam masyarakat juga dapat dilatih melalui keikutsertaan mahasiswa farmasi dalam organisasi kampus. Dalam organisasi,mahasiswa akan belajar untuk mendengarkan pendapat orang lain ,menyampaikan dan mempertahankan aspirasi yang dimilikinya,serta manajemen konflik terhadap permasalahan yang muncul. Percuma saja bila seorang apoteker memiliki pengetahuan yang luas dalam pertimbangan pemilihan obat dengan efek samping seminimal mungkin atau memahami mekanisme kerja obat dalam tubuh bila dirinya tidak mampu menyampaikan hal tersebut kepada pasien dan memastikan pasien paham dengan prosedur konsumsi obat yang benar.
Ingat!Farmasis bertanggung jawab terhadap nyawa pasien. Oleh karena itu,calon farmasis harus memberdayakan kemampuan yang dimilikinya seoptimal mungkin dalam pelaksanaan terapi obat pada pasien sesuai amanah profesi yang akan diembannya.
-Suhelnida Eka Putri-
Fakultas Farmasi Unand
Tidak ada komentar:
Posting Komentar