Aku seringkali mempertanyakan tentang satu hal. Kesendirian. Apakah selamanya sendiri itu akan membuatmu merasa sepi ataukah rasa sepi itu muncul karena aku sedang berdiam seorang diri. Bila benar seperti itu, bagaimana mungkin bisa kurasakan sepi bahkan bila disekelilingku ramai orang-orang saling berbagi cerita,mengumbar kisah bahagia atau mendesahkan duka?
***
“Ri..Ria!”
Sayup terdengar nama seseorang dipanggil.
“Ri..Ria!” terdengar sebuah suara mengulang sapaannya.
Plok..terdengar sesuatu menyentuh bahuku. Refleks aku terkejut, seluruh ototku terasa menegang.
Kualihkan pandang dan menemukan cengiran jahil itu menari di wajahnya.
“Hayoo, ngelamunin apa sih Ri? Bisa nggak sih sekali aja kamu nggak ngelamun?” ujar si penanggungjawab jantungku yang terasa hampir copot.
“Sari, ya ampuuun,desahku. Berusaha menemukan pegangan untuk bersabar menghadapi temanku yang usil ini.
Berkali-kali kukatakan bahwa aku tidak sedang melamunkan apapun.Aku hanya merenung sambil memikirkan hal-hal yang membuatku penasaran. Seperti tadi. Pertanyaan yang terlihat tak ada manfaatnya namun cukup mengusik pikiranku. Tentang kesendirian.
Debum bunyi musik angkot jurusan Lubuk Buaya yang kami tumpangi berdentum-dentum ditelingaku. Memekakkan dan memuakkan .Namanya juga angkutan umum, fasilitas umum. Aku hanya bisa mengurut dada bersabar “menikmati” suguhan hiburan yang sangat bertentangan dengan selera musikku itu.
Hari ini aku akan berkunjung ke rumah Sari. Tak seperti kunjungan biasanya, kami akan bertemu dengan Kak Vita yang bekerja di sebuah panti jompo. Kami biasa memanggilnya Uni Vita, seperti lazimnya panggilan orang Minang untuk saudara perempuan yang lebih tua.Ketika sampai di rumah Sari, aku melihat Uni Vita sedang mengetikkan sesuatu di laptopnya. Ternyata Uni Vita sedang membuat laporan penelitiannya dari panti jompo tempatnya magang. Uni Vita adalah mahasiswi tahun akhir jurusan psikologi Universitas Andalas. Penelitiannya berhubungan dengan manula, karena itulah Uni Vita menjalani magang di panti jompo.
Kami selalu berebut untuk mendengarkan dan menanyai segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan Uni Vita. Gadis berusia 23 tahun itu begitu kharismatik dalam berbicara. Dipadu dengan kelembutan pribadinya yang menata apik dara berparas ayu tersebut. Rencananya, aku dan Sari akan ikut mengunjungi panti jompo bersamanya. Ketika Uni melihat kami, dia tersenyum dan mengakhiri kegiatannya. Setelah bersiap-siap,kami pun berangkat bersama menuju panti jompo tersebut.
Panti Jompo “Kasih Sayang”. Demikianlah tulisan bercat hitam itu tercantum pada plang nama berlatar putih dengan nuansa kekuningan. Kesan “tua” tampak membayangi keseluruhan sudut panti. Aku dan Sari saling berpandangan. Takjub, berdebar dan penasaran melebur dalam satu rasa yang menggelorakan hati. Tampak berkelompok-kelompok kakek dan nenek berambut salju. Ada yang duduk di kursi goyang sambil membaca sebuah buku. Ramai yang bernostalgia, berbagi cerita masa muda. Ada pula yang bermain catur.
Uni Vita mengajak kami mendekati serombongan manula yang sedang asyik bercerita.
“Nek Imah, Oma Welas, Opa Yusuf, Nek Atih..,” sapa uni Vita pada keempat pria dan wanita lanjut usia tersebut sambil menyunggingkan senyum hangat. Nenek Imah balas melambaikan tangan, disertai ajakan Nek Atih untuk ikut bergabung bersama.
“Walah,walah..senangnya hari ini “cucu” kita datang berkunjung, ya?”ujar Oma Welas dalam balutan kebaya warna coklatnya. Opa Yusuf berdehem mengiyakan sambil membetulkan letak pecinya yang agak miring.
“Kakek sama nenekku tersayang sedang apa sekarang?” tanya Uni Vita bersemangat.
“Sedang mendengarkan kisah Nek Atih,cu.Mosok dia ngaku ngerasa kesepian disini,”jawab Oma Welas dalam logat jawanya yang kental.
“Yo boleh,tho ngerasa kesepian.Habis anak sama cucuku lha jarang nengokin aku,”ungkap Nek Atih.
Uni Vita berusaha menghibur dengan mengatakan bahwa kamilah yang akan menggantikan peran anak dan cucu kakek dan nenek tersebut.
“Bagi Vita,nenek dan kakek semua adalah nenek dan kakek terbaaiik sepanjang masa.Ria sama Sari setuju kan?”tanyanya pada kami berdua.Kami pun mengangguk.
Sepanjang sore itu,kami mendengarkan kisah masa muda Nek Atih yang diisinya dengan berkarir dan berorganisasi. Hidupnya didedikasikan penuh untuk bekerja dan mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Dulu, Nek Atih tak pernah merasa kesepian. Namun kini, saat usia telah membatasi ruang geraknya, kesendirian itu mulai terasa menyesakkan. Oma Welas merasa iri dengan teman-temannya yang memiliki banyak anak dan sekarang pun dianugrahi banyak cucu. Anak tunggal Oma Welas juga bersifat sama seperti dirinya.
”Gila kerja,”ujar Nek Atih mengenai Saputro, anaknya.
Putro,demikian Nek Atih memanggil putra kesayangannya, baru menikah saat usianya telah mencapai 35 tahun. Alhasil, cucu Nek Atih sekarang baru satu orang. Jojo namanya. Tak tahan dengan deraan kesendirian dan kungkungan sepi, Nek Atih memilih tinggal di panti jompo, bersama teman-teman lain yang senasib dengannya.
“Cuma aku masih sering ngerasain sepi, meskipun udah banyak yang nemenin kayak gini,”ungkapnya.
Kenapa, ya Oma Welas masih merasakan sepi padahal kini dia tak lagi beraktivitas seorang diri? Aku bertanya-tanya dalam hati sambil memandang “kakek dan nenek baruku” itu. Keempatnya terlihat bahagia bercanda bersama. Namun,ternyata duka tetap bertahta di hati mereka.
Kami juga berkenalan dengan Nini Yuni sebelum beranjak pulang. Wanita lanjut usia dengan kacamata tebal itu sedang asyik membaca sebuah roman. Nini Yuni pun menceritakan masa lalunya sambil merangkai kenangan indah yang pernah dirajutnya dalam ingatannya. Kenangan yang selalu menjadikannya tetap kuat, meskipun dirinya tak memiliki seorang pun anak dan suaminya tercinta telah pergi menghadap sang pencipta lebih dulu. Kanker rahim yang diderita Nini beberapa saat pasca persalinan Rosa, anak pertamanya menyebabkan dirinya tak bisa lagi memiliki anak. Rosa, satu-satunya tumpuan harapan ternyata tak bisa bertahan hidup dalam jangka waktu lama. Rosa mengalami kecelakaan lalu lintas dan wafat saat berusia 12 tahun. Betapa hancur hati Nini saat itu.
Mataku berkaca-kaca. Kulihat Sari pun memalingkan wajah sambil mengerjapkan mata.
Apakah sekarang Nini merasa kesepian? batinku.
“Tapi, Nini tak pernah merasa sepi,cu.Kenangan-kenangan indah yang Nini miliki membuat Nini mampu bertahan menjalani hari. Mendiang suami Nini sering mengatakan bahwa hal terpenting dalam hidup adalah betapa besar kita menghargai hidup itu sendiri. Jangan pernah memikirkan apa yang hilang atau apa yang pergi meninggalkan kita.Tapi, pikirkanlah seberapa baik kita mampu menjaga amanah yang Tuhan beri sampai amanah itu diambilnya kembali,” jelas Nini.
“Jadi, ingatlah sebanyak mungkin tawa dari orang-orang yang kita cinta. Buatlah tawa itu menjadi tameng dirimu menghadapi badai hidup yang mampu meremukkan hati hingga nelangsa meraja,” tambah Nini sambil menghapus manik airmata diwajahku.
Aku tersenyum. Sari juga. Kutatap Uni Vita yang memandang Nini dengan sorotan kagum. Pelajaran berharga telah kudapatkan hari ini dari para pengembara dan pejuang kehidupan.
Nini yang tak pernah merasa sepi meskipun dirinya seorang diri atau Nek Atih yang tetap merasakan sepi meskipun ramai orang disekelilingnya menemani. Dua sisi perasaan yang mengungkapkan satu hal. Cermin yang kau pakai untuk menatap hidup memantulkan perasaan yang berkecamuk dalam jiwa.
Bila pikiran positif tertempatkan dalam benak, pandangan tentang hidup juga akan mewarnakan pelangi nan indah. Jika pikiran negatif memainkan lakon paling dominan, sendu akan mengkelabukan kalbu.
Jadi,mengertikah kamu arti kesendirian yang sesungguhnya?
Kesendirian bukanlah muasal sepi karena sepi hanyalah masalah dari segi mana dirimu memaknai keadaan.
Padang,3 Juli 2012
***
“Ri..Ria!”
Sayup terdengar nama seseorang dipanggil.
“Ri..Ria!” terdengar sebuah suara mengulang sapaannya.
Plok..terdengar sesuatu menyentuh bahuku. Refleks aku terkejut, seluruh ototku terasa menegang.
Kualihkan pandang dan menemukan cengiran jahil itu menari di wajahnya.
“Hayoo, ngelamunin apa sih Ri? Bisa nggak sih sekali aja kamu nggak ngelamun?” ujar si penanggungjawab jantungku yang terasa hampir copot.
“Sari, ya ampuuun,desahku. Berusaha menemukan pegangan untuk bersabar menghadapi temanku yang usil ini.
Berkali-kali kukatakan bahwa aku tidak sedang melamunkan apapun.Aku hanya merenung sambil memikirkan hal-hal yang membuatku penasaran. Seperti tadi. Pertanyaan yang terlihat tak ada manfaatnya namun cukup mengusik pikiranku. Tentang kesendirian.
Debum bunyi musik angkot jurusan Lubuk Buaya yang kami tumpangi berdentum-dentum ditelingaku. Memekakkan dan memuakkan .Namanya juga angkutan umum, fasilitas umum. Aku hanya bisa mengurut dada bersabar “menikmati” suguhan hiburan yang sangat bertentangan dengan selera musikku itu.
Hari ini aku akan berkunjung ke rumah Sari. Tak seperti kunjungan biasanya, kami akan bertemu dengan Kak Vita yang bekerja di sebuah panti jompo. Kami biasa memanggilnya Uni Vita, seperti lazimnya panggilan orang Minang untuk saudara perempuan yang lebih tua.Ketika sampai di rumah Sari, aku melihat Uni Vita sedang mengetikkan sesuatu di laptopnya. Ternyata Uni Vita sedang membuat laporan penelitiannya dari panti jompo tempatnya magang. Uni Vita adalah mahasiswi tahun akhir jurusan psikologi Universitas Andalas. Penelitiannya berhubungan dengan manula, karena itulah Uni Vita menjalani magang di panti jompo.
Kami selalu berebut untuk mendengarkan dan menanyai segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan Uni Vita. Gadis berusia 23 tahun itu begitu kharismatik dalam berbicara. Dipadu dengan kelembutan pribadinya yang menata apik dara berparas ayu tersebut. Rencananya, aku dan Sari akan ikut mengunjungi panti jompo bersamanya. Ketika Uni melihat kami, dia tersenyum dan mengakhiri kegiatannya. Setelah bersiap-siap,kami pun berangkat bersama menuju panti jompo tersebut.
Panti Jompo “Kasih Sayang”. Demikianlah tulisan bercat hitam itu tercantum pada plang nama berlatar putih dengan nuansa kekuningan. Kesan “tua” tampak membayangi keseluruhan sudut panti. Aku dan Sari saling berpandangan. Takjub, berdebar dan penasaran melebur dalam satu rasa yang menggelorakan hati. Tampak berkelompok-kelompok kakek dan nenek berambut salju. Ada yang duduk di kursi goyang sambil membaca sebuah buku. Ramai yang bernostalgia, berbagi cerita masa muda. Ada pula yang bermain catur.
Uni Vita mengajak kami mendekati serombongan manula yang sedang asyik bercerita.
“Nek Imah, Oma Welas, Opa Yusuf, Nek Atih..,” sapa uni Vita pada keempat pria dan wanita lanjut usia tersebut sambil menyunggingkan senyum hangat. Nenek Imah balas melambaikan tangan, disertai ajakan Nek Atih untuk ikut bergabung bersama.
“Walah,walah..senangnya hari ini “cucu” kita datang berkunjung, ya?”ujar Oma Welas dalam balutan kebaya warna coklatnya. Opa Yusuf berdehem mengiyakan sambil membetulkan letak pecinya yang agak miring.
“Kakek sama nenekku tersayang sedang apa sekarang?” tanya Uni Vita bersemangat.
“Sedang mendengarkan kisah Nek Atih,cu.Mosok dia ngaku ngerasa kesepian disini,”jawab Oma Welas dalam logat jawanya yang kental.
“Yo boleh,tho ngerasa kesepian.Habis anak sama cucuku lha jarang nengokin aku,”ungkap Nek Atih.
Uni Vita berusaha menghibur dengan mengatakan bahwa kamilah yang akan menggantikan peran anak dan cucu kakek dan nenek tersebut.
“Bagi Vita,nenek dan kakek semua adalah nenek dan kakek terbaaiik sepanjang masa.Ria sama Sari setuju kan?”tanyanya pada kami berdua.Kami pun mengangguk.
Sepanjang sore itu,kami mendengarkan kisah masa muda Nek Atih yang diisinya dengan berkarir dan berorganisasi. Hidupnya didedikasikan penuh untuk bekerja dan mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Dulu, Nek Atih tak pernah merasa kesepian. Namun kini, saat usia telah membatasi ruang geraknya, kesendirian itu mulai terasa menyesakkan. Oma Welas merasa iri dengan teman-temannya yang memiliki banyak anak dan sekarang pun dianugrahi banyak cucu. Anak tunggal Oma Welas juga bersifat sama seperti dirinya.
”Gila kerja,”ujar Nek Atih mengenai Saputro, anaknya.
Putro,demikian Nek Atih memanggil putra kesayangannya, baru menikah saat usianya telah mencapai 35 tahun. Alhasil, cucu Nek Atih sekarang baru satu orang. Jojo namanya. Tak tahan dengan deraan kesendirian dan kungkungan sepi, Nek Atih memilih tinggal di panti jompo, bersama teman-teman lain yang senasib dengannya.
“Cuma aku masih sering ngerasain sepi, meskipun udah banyak yang nemenin kayak gini,”ungkapnya.
Kenapa, ya Oma Welas masih merasakan sepi padahal kini dia tak lagi beraktivitas seorang diri? Aku bertanya-tanya dalam hati sambil memandang “kakek dan nenek baruku” itu. Keempatnya terlihat bahagia bercanda bersama. Namun,ternyata duka tetap bertahta di hati mereka.
Kami juga berkenalan dengan Nini Yuni sebelum beranjak pulang. Wanita lanjut usia dengan kacamata tebal itu sedang asyik membaca sebuah roman. Nini Yuni pun menceritakan masa lalunya sambil merangkai kenangan indah yang pernah dirajutnya dalam ingatannya. Kenangan yang selalu menjadikannya tetap kuat, meskipun dirinya tak memiliki seorang pun anak dan suaminya tercinta telah pergi menghadap sang pencipta lebih dulu. Kanker rahim yang diderita Nini beberapa saat pasca persalinan Rosa, anak pertamanya menyebabkan dirinya tak bisa lagi memiliki anak. Rosa, satu-satunya tumpuan harapan ternyata tak bisa bertahan hidup dalam jangka waktu lama. Rosa mengalami kecelakaan lalu lintas dan wafat saat berusia 12 tahun. Betapa hancur hati Nini saat itu.
Mataku berkaca-kaca. Kulihat Sari pun memalingkan wajah sambil mengerjapkan mata.
Apakah sekarang Nini merasa kesepian? batinku.
“Tapi, Nini tak pernah merasa sepi,cu.Kenangan-kenangan indah yang Nini miliki membuat Nini mampu bertahan menjalani hari. Mendiang suami Nini sering mengatakan bahwa hal terpenting dalam hidup adalah betapa besar kita menghargai hidup itu sendiri. Jangan pernah memikirkan apa yang hilang atau apa yang pergi meninggalkan kita.Tapi, pikirkanlah seberapa baik kita mampu menjaga amanah yang Tuhan beri sampai amanah itu diambilnya kembali,” jelas Nini.
“Jadi, ingatlah sebanyak mungkin tawa dari orang-orang yang kita cinta. Buatlah tawa itu menjadi tameng dirimu menghadapi badai hidup yang mampu meremukkan hati hingga nelangsa meraja,” tambah Nini sambil menghapus manik airmata diwajahku.
Aku tersenyum. Sari juga. Kutatap Uni Vita yang memandang Nini dengan sorotan kagum. Pelajaran berharga telah kudapatkan hari ini dari para pengembara dan pejuang kehidupan.
Nini yang tak pernah merasa sepi meskipun dirinya seorang diri atau Nek Atih yang tetap merasakan sepi meskipun ramai orang disekelilingnya menemani. Dua sisi perasaan yang mengungkapkan satu hal. Cermin yang kau pakai untuk menatap hidup memantulkan perasaan yang berkecamuk dalam jiwa.
Bila pikiran positif tertempatkan dalam benak, pandangan tentang hidup juga akan mewarnakan pelangi nan indah. Jika pikiran negatif memainkan lakon paling dominan, sendu akan mengkelabukan kalbu.
Jadi,mengertikah kamu arti kesendirian yang sesungguhnya?
Kesendirian bukanlah muasal sepi karena sepi hanyalah masalah dari segi mana dirimu memaknai keadaan.
Padang,3 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar