Maytati
Yanun Dieperantauan
oleh : Eka Ananda Putri
Yang
sedang duduk pada salah satu kursi di halte bus UNAND itulah May. Wajah sengit
memandang matahari. Di rasakannya panas, di pandangnya sudut ke sudut suara
ramai bergemuruh. Bus-bus berjejer.
Di
tempat duduknya sekarang, ingin penulis ceritakan bahwa May adalah seorang anak tunggal. Tidak bersaudara,
ayahnya telah mati pula saat dia duduk di cawu 2 kelas satu SMA. Disebabkan penyakit
yang tak jelas apa, yang jelas kematian ayahnya sangat mendadak. Dikala itu
sipeninggal ayahnya, May hidup berdua
dengan mandehnya di sebuah rumah berjenjang bercorak Minangkabau di
perkampungan Tanjuang Barulak Batipuah.
May
bersekolah dengan tekun di SMA 1 Teladan Padang Panjang dengan NEM yang bagus.
Mula-mula ia sangat ingin mencapai cita-citanya di Perguruan Tinggi seperti
ramai orang berlalu lalang dihadapannya sekarang. Para Mahasiswa-Mahasiswi yang
sibuk kian kemari naik dan turun bus. Mereka mengenakan tas dan sepatu yang
rapi.Tapi entah apa sebabnya May gagal duduk di bangku kuliah. Mungkin karna
terbentur biaya, melihat pula mandehnya yang sudah semakin tua atau mungkin
pula keluarganya yang pada umumnya berpendidikan rendah, jadi tidak ada yang
bisa menjunjung tinggi arti pendidikan. Yang pasti kemungkinan dari yang banyak
itu bisa saja jadi penyebab May gagal melanjutkan cita-cita di Perguruan
Tinggi. Walaupun begitu, darah muda asli Minangkabau ini sangat besar nyali dan
imamnya. Bila yang tua- tua melihat, patut di acungi jempol shalatnya. Sangat
pandai dia menjaga waktu untuk Tuhan dan sama sekali tidak penulis lihat wajah
sedih sedikit pun ketika dia memandangi orang seumuran dengannya berlalu-lalang
menuju tempat tujuan cita-citanya semula.Sangat mengagungkan hati May.
Belum
tampak tujuan yang jelas, ia duduk di halte bus UNAND. Tak sedikit pun hatinya
mengerutu pada pemilik yang maha agung. Bagaimana dia, bagaimana dia anak
yatim. Bagiaman dia anak seorang tunggal tak memiliki saudara kandung.
Bagaimana mandehnya kenapa sudah sangat tua. Bagaimana nasibnya, kenapa dia
insan ytang teerlahir dari keluarga yang pas-pasan. Bagaiman pula jalan hidup
tidak memeperbolehkan dia menjadi
seorang mahasiswi berpendidikan dan bermasa depan cerah. Bagaimana ini.
Tidak......Tidak...Tidak ada penghakiman buat Tuhan oleh May. Karna nyata-nyata
Tuhan itu Maha Adil.
Di
pandangnya langit yang biru, panas menyengat karna matahari Tuhan. Teringat
oleh May saat mata mandehnya bertitik melepas dia pergi ke kota Padang, kota
tempat ia duduk-duduk sekarang. Mencari dayuh hidup di perantauan. Mencari
kaya, kawan dan kerabat pengganti dunsanak
di kampung. Mencoba mengubah nasib. Begitu tekad May. Ijazah SMAnya
ditenteng kian kemari. Bilaman ada lowongan, cepa-cepat ia memasukkan lamaran.
Hari
berganti hari, lamar sana lamar sini telah dilakukan May. Sudah hampir pula
seminggu, namun panggilan yang di tunggu-tunggunya belum juga datang. Ketika ia
bersandar di depan toko kaca orang, tidak jauh dari mesjid, tidak jauh pula
dari kosnya. Saat dia duduk terenyak bersandar memegang amplod kacang padi,
datang seorang ibu-ibu berkulit putih. Ia melongohkan kepalanya menghadap
amplot di tangan May.
“Lagi
lamar kerja dik.”
“Iya
buk. Ini belum juga dapat.” kata May sambil memperbaiki duduknya.
“Oo.
Tamat apa?”
“SMA
buk. Saya dari Batipuah.”
“Jauh
ya,,disini tinggal dimana?”
“Tidak.
Saya ngekos di ujung sana, belok kiri setelah sate Mak Tik, rumah berpagar
hijau, disana kos saya”
Setelah
lama berbincang,bercakap-cakap,tanya ini tanya itu, terjadilah suatu penawaran
oleh ibu-ibu berkulit putih tadi. Penawaran sebuah pekerjaan. Cukup lama may
memikirkannya akhirnya ia menerima penawaran pekerjaan itu. Walau ditimbang
buruknya bekerja dirumah makan ditepi pantai. Ia menerima daripada jadi
pengangguran yang hampir habis perbekalan. Lalu
pulang kampung mengatakan benar kata mandehnya” yang merantau itu anak
laki-laki” tapi May tidak ingin begitu masih ingin dia menatap mobil yang
melaju dikota Padang, melihat indah dan eloknya negeri Padang, dan toko-toko
yang berkilat yang berjejer disepanjang Pasar Raya. Belum jenuh mata May memandang, ibukota
sumatera barat itu.
Besoknya
setelah tawaran, dan keputusan menerima pekerjaan dirumah makan ditepi pantai,
maka jadilah May karyawan rumah makan One Nan Lamo namanya. Kelihatan ombak dan
bunyinya yang bergemuruh disanalah May bekerja. Mulai dari memotong-motong
bahan masakan, segala macam pekerjaan mencuci piring, menghidangkan makanan dan
banyak lagi lainnya. Saat matahari mulai terbenam, saat burung-burung beransur
pulang, saat itu pula May menyudahi pekerjaannya. Pulang kekosan membersihkan
badan yang sedikit baun amis dan telah bercampur keringat karena panas.
Pekerjaan
yang keras menyiksa tenaga dan waktu kerjanya yang panjang ditambah pula
keadaan yang panas yang membuat raut wajah May nampak gelap dan sedikit
menghitam. Maka, barang cukup satu bulan saja May betah bekerja dirumah makan
itu, rumah makan One Nan Lamo, ditepi pantai yang berombak, pesisir pantai
dengan para nelayan yang sibuk mencari hidup.melihat matanya yang cakung dan
melihat tadi raut wajah yang nampak gelap dan ssedikit menghitam karena keadaan
tempat ia bekerja panas dan tidak memungkinkan. Itulah keputusan yang tepat. May
berhenti.
Dilanjutkan
hari-harinya seperti biasa, memulai kembali kebiasaan semula. Kebiasaan saat
mula-mula ia datang ke kota Padang. Berjalan disepanjang jalan, mondar-mandir
dikeramaian, menenteng tas kecil yang berisi surat lamaran sudah lengkap dengan
syaratnya. Mencari kalau-kalau ada lowongan. Sudah beransur pula petang..
Tidak
terasa waktu, sudah masuk pula minggu kedua dia berhenti dari pekerjaannya.
Saat ia sedang duduk diteras kosnya. Melamun, memandang-mandang tujuan
hidupnya. Datang dua pucuk surat. Surat yang pertama datang dari mandehnya dan
surat yang kedua beralamatkan pemanggilan untuk interview pada toko Raya. Kedua
surat digenggam ditangannya. Setelah dipilih-pilih dibuka surat dari mandehnya.
Begini suratnya
May tati
yanum dipadang
Sebelum
menanyakan kabarmu nak, mandeh berdoa semoga engkau selalu dalam lindunganNYA.
Lindungan maha pemilik Agung.
Saat
mandeh minta tolong menulis surat untuk engkau kepada Wina sepupumu,
alhamdulillah keadaan mandeh baik-baik saja. Sehat seluruh badan mandeh, tapi
dikecualikan pikiran mandeh yang terbentur mangenai keadaan engkau disana. Jauh
dikota orang, entah bagaimana dan semoga pemilik agung tadi tidak senantiasa
engkau lupakan, Amin.
Inilah
hati orang tua nak, hati mandeh kepada engkau. Berlipur bukit, berlipur lautan
yang dalam, berlipur pula akar yang melintang, yang mandeh bayangkan. Tentang
bagaimana keadaan engkau. Apa yang engkau tempuh dikota orang. Tapi lagi-lagi
mandeh percaya kepada pemilik Agung selagi engkau tidak melupakannya.
Sepucuk
surat dari engkau, pembalas rindu dan rasa khawatir mandeh telah mandeh terima
dua minggu yang lalu. Maafkan mandeh baru membalasnya, bukan karena kesempatan
yang menunda tapi mandeh menyusun-nyusun kata yang benar dan tepat untuk
mengatakan kepada engkau bahwa hati mandeh benar-benar menginginkan engkau
dirumah saja. Melihat kedua gunung yang indah dikota kita memandangi segala
jagat dikampung yang begitu banyak.
Suratmu
mandeh paham. Belum pantang engkau meninggalkan kota padang nampaknya. tidak
apa-apa bagi mandeh nak, asal engkau bahagia dan mengerti pula engkau tentang
sedikit lika-liku hidup. Supaya nantinya engkau tidak canggung, la kalau ada
lika-liku yang lebih berat.
Penutup
surat mandeh hanya berpesan sebuah do’a. Semoga engkau selalu dalam
lindunganNYA. Dan jika sudah habis pantangmu, pulanglah nak.
Mandeh
Nurlela
Surat
yang kedua lekas pula dibuka May. Memandang alamat surat dari toko Raya, toko
tempat ia memasukan seberkas lamaran pekerjaan. Dibacanya surat itu dan
mengikuti isi surat ia datang memenuhi panggilan interview. Alhamdulillah
karena semangat yang belum pantang pula setelah surat pemanggilan pekerjaan itu
jadilah May seorang karyawan. Ditoko Raya dikawasan pasar raya, pasarnya kota Padang.
Bekerja di Toko Raya, toko baju butik, bajunya
orang-orang berpunya. Gaya May lebih rapi dan kaliahatan disiplin. Jilbab yang
di pakai May telah rubah pula erengnya 180 derajat. Lebih mantap, pas, dan
harmonis sekali kalau dipandang. Begitulah kira-kira keadaan May sekarang.
Bekerja di toko butik ternama, bertambah pula pergaulan dan corak pemandangan
wajah lebih jernih karena bertempat toko yang ber-AC. Tidak panas dan tidak
lagi baun asam karna kerja yang berkeringat.
Sedikit
ingin di ceritakan tentang May yang bertemu dengan cinta hatinya setelah lulus SMA dan kinilah
datangnya. Padalah seorang pemuda yang bernama Andi. Tinggi dan kurus,dan
lagi-lagi lah alisnya seperti artis Eropa. Dilanjutkan, bukan punduk merindukan
bulan tapi hati keduanya sama-sama, sama bahagia bila bersama, sama-sama suka
dan sama-sama bekerja ditoko Raya. Alhasil inilah yang sering disebut-sebut
cinta lokasi. Ya,cinta lokasi antara May dan Andi. Cinta karna sering bertemu,
cinta karna setempat pekerjaan.
Keduanya
cinta-cintaan, semakin menggebu perasaan asmara. Makin hari, makin seiya.
Sudah dua kali pula May diajak Andi
mencari angin jalan-jalan sore disepanjang pantai. Menikmati angin sore dan
melihat indahnya matahari terbenam. Sudah ada pula janji mereka menatap langit
biru di tepi pantai yang berombak itu ‘bila berjodoh, mereka berdua merasa
menjadi manusia yang paling beruntung’. Tapi jalan Andi berkehendak lain, kehendak
keadaan uang yang cukup pula, ia berkeputusan berhenti dan keluar dari toko
Raya. Melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi.
Seperti
itulah cinta mereka. Setelah Andi keluar dari toko Raya, mereka sama sekali
tidak berhubungan. Tidak ada lagi janji, atau mungkin saja sudah saling
melupakan. Namanya saja cinta lokasi. Cinta kebersamaan ditoko, cinta jalan-jalan
dua kali tanpa pegang ini pegang itu hanya menatap langit-langit biru penutup
kebekuan.
Tidak
lama setelah Andi keluar dari toko Raya, seiring pertambahan waktu, perputaran
angin, indahnya kota Padang harus ditinggalkan May. Memohon pada Pencipta
langit dan bumi semoga pilihannya meninggalkan kota Padang dan kembali ke kampungnya
semoga menjadi pilihan paling baik, paling betul, dan tentunya itu harus
dipilih. Karna apa, karna May hampir 5 bulan bekerja di butik dan karna sesuatu
kesalahan yang tidak perlu dilakukan May seharusnya. akhirnya dia di pecat.Kkata
bos besarnya yang bekepala sula itu,itu
kepeputusan yang matang. May dikeluarkan karna pada suatu hari saat ia
bekerja, ia minta izin dengan berbagai alasan. Padahal ketahuan ia minta izin
untuk tes bekerja di tempat lain.
Mungkin
saja malang lebih dekat pada May saat suatu hari itu, saat suatu hari May di pecat. Padahal ya bagaimana lagi,
tempat butik tempat dia bekerja paling senang hatinya, dapat pula kekasih hati
dan senang pula hati mandehnya mengingat ia bekerja di butik besar.
Kembali
lagi pada pencipta langit dan bumi. Yang merubah pagi menjadi petang, petang
menjadi malam, dan akhirnya kembali malam menjadi pagi. Sisa-sisa semangat May
mencari pekerjaan sudah tidak bisa dipakai lagi. Maksudnya, tidak sebesar saat
ia mulal-mulai datang ke Padang. Maka dari itu setelah semalam berfikir jernih
dan setelah tanya sana sini kepada kawannya mengenai ada lowongan pekerjaan
tapi May belum mendapatkan. Entah sejak Andi sudah tidak ada lagi, entah May
yang sudah bosan hidup dirantau orang.
Teringat
dia derasnya air kali yang mengalir
dikampungnya. Teringat sawah yang berjenjang, disana ada anak gembala.
Terdengar hatinya membayangkan kampung halaman, keindahan balai desa, memandang
daun ubi kayu yang menjulai hijau dan subur. Surut hati May, dia hendak ingin
menemui mandehnya. Menemani mandeh hidup.
Besok
pagi setelah semalam ia berpikir jernih,memang nampaknya kota padang harus
ditinggalkan.ia kembali kekampung, melupakan cita-citanya sukses diperantauan.
Kembali kekampung.
Wajah
May sengit memandang matahari yang begitu panas. Kepalanya menghadap memandangi
oto yang berlalu lalang. Disinggahi
matanya memilih-milih oto tujuan
Batusangkar . Dia duduk dikursi paling belakang pojok kanan pada oto YANTI. Oto Yanti gresek-gresek di perjalannan
melewati Tabing, Duku, Lubuk Alung, Sicicin, Kayu Tanam, Lembah Anai, setelah
itu Padang Panjang dan lanjut ke Batipuah. Disananlah may turun. Tepat di gang
rumahnya. Dua menit berjalan dari gang , paling kanan itulah rumah May. Tepat
jam 10 pagi. Saat ayam-ayam masih ada yang berkokok dengan nada tidak sabaran
didepan rumahnya. May memanggil-manggil mandehnya.
“mandeh.....mandeh....”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar